Sun. Jun 22nd, 2025

Inflasi pangan Indonesia diakui oleh Menteri Keuangan sulit dikendalikan. Hingga saat ini 11,5%. Ini sangat tidak rasional, mestinya maksimal 5% saja. Padahal beberapa hari silam Bank Indonesia melaporkan inflasi pangan 10,47%.

Sudah melampaui ambang batas. Karena biaya hidup dari pangan hingga 60% dari pendapatannya, bagi kaum menengah ke bawah. Sebab utama penambahan jumlah kemiskinan dari rentan miskin ke kelompok miskin, lalu stunting tambah.

Pandangan saya pribadi. Menunjukkan teori bahwa kekayaan alam tropis subur terbentang luas. Bukan jaminan berdaulat pangan. Jika tanpa membangun SDM unggul dan iklim usaha yang berpihak ke produsennya.

Karena pondasi pangan Indonesia rapuh belum kokoh. Mulai dari petani sebagai produsen, daya dukung lahan, inovasi dan tata niaga yang tidak berpihak ke petani. Alhasil impor pangan dan sarana produksinya hingga ratusan triliun/tahunnya.

Karena nilai ketergantungan kepada impor terlalu tinggi maka sangat rentan terhadap harga pangan global. Harga sarana produksi pangan misal pupuk, herbisida dan pestisida yang harganya naik ugal – ugalan. Padahal daya beli masyarakat sedang rendah.

Contoh ;

1. Impor gandum di atas 12 juta ton/tahun, berawal dulunya disubsidi agar gandum laris manis di Indonesia.

2. Impor gula sekitar 4 juta ton/tahun, padahal tahun 1930 an produsen terbesar ke 2 di dunia.

3. Impor bawang putih 600.000 ton/tahun, kedelai 3 juta ton/tahun, sapi dan daging setara 1,6 juta ekor/tahun, susu 78% dari total kebutuhan, buah dan banyak lagi.

4. Sarana produksi pupuk kimia, pestisida dan herbisida jutaan ton/tahunnya, ratusan triliun/tahunnya, nilai impor kita.

Harga BBM naik tajam, biaya produksi di negara asal mahal. Ongkos kirim dari negara asal ke Indonesia juga naik tajam. Jadilah kumulatifnya pangan kita mahal. Wajib impor karena volume produksi kita kurang. Inflasi pangan naik tajam.

Akibat pembangunan SDM kurang mengarah mandiri inovatif. Iklim usaha tidak berpihak agar makin banyak terangsang bertani. Harga pokok produksi (HPP) tinggi tidak kompetitif. Karena HPP tinggi, nilai jual tinggi, lalu impor mencari yang murah. Jadilah kecanduan pangan impor.

Solusinya ?

1. Harus ada gerakan transformasi pemuda inovatif bertani dengan jiwa pengusaha agar HPP rendah dan kompetitif membendung impor. Sehingga pangan lebih berdaulat.

2. Dibangun iklim usaha yang berpihak ke produsen yaitu petani. Apapun yang menjadikan HPP rendah dan menang bersaing dibandingkan barang impor agar jadi pilihan masyarakat konsumen.

3. Masyarakat konsumen digerakkan cinta produksi petani dalam negeri, menghadang petani terampil tidak jadi TKI, agar bertani pangan di lahan luas misal Kalimantan. Ironis jika mereka jadi petani di negara lain.

Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
Hp 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *