Sun. Jun 22nd, 2025

Berikut ini beberapa contoh nyata di lapangan kisah nyata para petani kita, penyedia pangan Rakyat Indonesia. Tiap kisah bisa diambil ilmu hikmahnya karena ragam permasalahannya. Jadi bahan pembelajaran, sebagai kaji ulang untuk mencari solusinya.

1). Petani Inovatif, Lahan Sempit.

Menanam padi bisa 7 ton GKP/ha. Harga jual sesuai keputusan Pemerintah Rp 6.500/kg. Omzet Rp 45,5 juta. Padahal modal kerja hanya Rp 17,5 juta dan sewa Rp 8 juta/ha/musim tanam. Total laba Rp 20 juta/ha/musim. Sayangnya luas hanya 0,5 ha, praktis hanya dapat 2,5 juta/bulan.

Ilmu hikmahnya, bahwa sekalipun petani inovatif bisa menghasilkan 7 ton GKP/ha/musim. Harga jual bagus Rp 6.500/kg GKP. Tapi karena sawahnya hanya 0,3 ha, lazimnya petani lain ada 17 juta KK juga memiliki lahan hanya 0,5 ha/KK maka laba hanya Rp 2,5 juta/bulan. Belum bisa sejahtera.

2). Petani Konservatif Tradisional.

Sama menanam padi tapi hasilnya cuma 5 ton GKP/ha, harga jual Rp 6.500/kg. Omzet Rp 32,5 juta. Modal juga sama Rp 17,5 juta, asumsi sewa Rp 8 juta/ha. Total modal Rp 25,5 juta/ha/musim. Laba hanya Rp 7 juta/4 bulan semusim atau Rp 1,7 juta/bulan. Karena lahan 0,3 ha, hanya Rp Rp 450.000/bulan buat sekeluarga.

Ilmu hikmahnya, jika petani tidak inovatif misal hanya serba kimia, pupuk dan pestisida. Tanpa mau remediasi dengan dolomit, pupuk organik, pupuk hayati, biopestisida maka laba makin sedikit. Jika harga sawah Rp 1,5 miliar/ha butuh waktu ratusan kali panen puluhan tahun. Tidak logis bisnis.

3). Rendahnya Daya Dukung.

Di Jawa Timur ada sawah ribuan hektar, jadi pelanggan tetap rutin, kebanjiran karena luapan Sungai Brantas. Tidak heran jika jadi gatot (gagal total). Padahal luasnya 7 ribuan hektar, peluang dana masuk buat petani triliunan rupiah berlalu begitu saja. Sayang sekali, jadi sebab petani demotivasi padahal investor massal.

Ilmu hikmahnya, sebaik apapun semangat masyarakat bertani padi dan secanggih apapun teknologi inovasinya maka akan sia – sia belaka kalau daya dukung Pemerintah rendah. Padahal mudah solusinya karena dana APBN/D triliunan. Hilang juga potensi sumber pangan kita.

4). Inovasi Belum Membumi.

Sering kali petani hanya diiming – iming oleh para peneliti di Perguruan Tinggi. Di berita banyak mengabarkan telah ditemukan benih padi varietas baru bisa produksi 12 ton GKP/ha. Tapi hanya sebatas tulisan atau mungkin hanya demplot skala laboratorium. Bukan skala luas di tengah masyarakat. Yang bisa direplikasikan agar nyata manfaatnya.

Ilmu hikmahnya, petani Indonesia sangat beda perlakuannya dibandingkan petani di negara lain yang dimanja oleh hasil penelitian para penelitinya. Padahal dana pajak yang dipungut jadi APBN parsial jadi sarana penelitian dengan segala fasilitasnya yang wow. Seolah semua happy pada areanya masing – masing, non sinergis produktif.

5). Sulitnya Akses Permodalan.

Tidak jarang petani jadi korban pengijon, segala sesuatu sarana produksinya dipinjami pihak lain yang akan dibayar saat panen. Tentu yang mendanai sarana produksinya sudah dapat laba yang sangat besar. Dampaknya laba riil petani makin sedikit sekali. Karena akses perbankan bunga lunak sulit didapat. Padahal dana parkir di bank Rp 8.600 triliun (2024).

Ilmu hikmahnya, bahwa jika akses permodalan hanya baik pada level atas saja. Tanpa penjabaran meluas di masyarakat yang membutuhkan maka akan hanya jadi kabar burung saja. Belum jadi solusi konkret lapangan. Hanya sedikit saja, petani yang menikmati program sangat bagus tersebut, misal KUR suku bunga hanya 6%/tahun.

Salam Mandiri 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *