Efisiensi, prinsipnya bagaimana cara rekayasa agar ” minimal ” sumber daya dengan hasil ” semaksimal ” mungkin. Agar indeksnya rendah. Konkretnya biaya, waktu, tenaga dan lainnya jumlah ” minimal “, tapi hasilnya ” semaksimal ” mungkin.
Contoh konkretnya ;
1). Tenaga.
Buat apa membuang tenaga banyak muat sawit 200 ton/hari ke atas truk, jumlah 40 orang, anggaran Rp 5 juta, indeks Rp 25 .000/ton. Jika cukup 1 orang operator Mesin Loader juga bisa 200 ton/hari hanya Rp 1,4 juta/hari, indeks Rp 7.000/ton. Sangat jauh beda efisiensinya.
Yang 39 orang sisanya diberdayakan ke lainnya . Akan hemat Rp 3,6 juta/hari atau di atas Rp 1 miliar/tahun. Belum lagi dapat laba dan manfaat dari 39 orang pada pekerjaan lain. Implikasinya harga pokok produksi (HPP) rendah, laba akan tambah. Kompetitif jika bersaing.
2). Waktu.
Buat apa rapat berlarut saling menunggu karena terbiasa ” tidak disiplin ” dengan jadwal. Hingga menyita waktu lama terbuang. Limbah waktu. Jika bisa lebih singkat lagi karena disiplin jadwal dan sistematis target ruang lingkupnya.
Toh kalau hasilnya sama saja, antara butuh waktu lama maupun singkat. Begitu juga dalam perencanaan dan pelaksanaan. Buat apa ” boros waktu jadi limbah ” jika bisa efisien waktu. Sehingga banyak deposito waktu untuk lainnya.
3). Pikiran.
Buat apa boros pikiran untuk melakukan penelitian dan kajian. Tapi kalau obyek penelitiannya tanpa kajian pasar terlebih dulu, jika proses metode penelitian asalan saja, jika cara penetrasi pasar hasil penelitian (invensi) agar jadi inovasi, tidak dipahami dulu.
Padahal ingin dianggap pikirannya ” sangat berharga ” karena gelar akademik disandang berjejer. Implikasi negatifnya, pajak rakyat triliunan/tahun dari APBN hanya jadi sumber ” pemborosan ekstrem ” oleh peneliti pemikir. Karena invensi hasil penelitian tidak jadi inovasi membumi.
4). Dana.
Buat apa dana triliunan keringat rakyat jadi pajak dikumpulkan dengan sangat sulit karena saat bersamaan rakyat juga sedang menghadapi kesulitan. Kalau cuma buat foya – foya oknum para pemimpin/pejabat. Misal rapat saja 17 kali dan studi banding ke luar negeri sambil nglencer.
Seharusnya dana jumlah tertentu bisa membuat perubahan lapangan di banyak hal. Tapi hanya jalan di tempat seremonial saja. Super boros. Konkretnya dana Rp 50 triliun bisa untuk membuat jalan baru pedesaan 50.000 Km, tapi hanya untuk rapat rekreasinya para pejabat.
5). Kesempatan.
Buat apa menunda bahkan ” membuang kesempatan ” berubah lebih baik. Hanya karena ” mentalitas pemalas ” sibuk mengeluh dan menyalahkan. Seolah hanya dirinya yang menderita hingga sibuk mengeluh atau seolah dirinya paling berjasa hingga sibuk menyalahkan keadaan.
Bukankah bijak logisnya, ibarat ruangan jika dirasa gelap dan pengap sebaiknya ambil peran menyalakan lilin atau ikut serta menyibak tirai dan membuka jendela. Perbuatan baik adalah cara terbaik dakwah agama (KH. Ahmad Dahlan).
Salam Efisiensi š®š©
Wayan Supadno
Inovator ZPT Hormax
HP 081586580630