Wayan Supadno
Salah satu ciri utama negara dikualifikasikan sebagai negara maju pada jumlah entrepreneur (pengusaha) minimal 5% dari jumlah penduduknya. Karena entrepreneur sebagai lokomotif perekonomian, pencipta lapangan kerja, pembayar pajak jumlah besar dan implikasi lainnya. Saat ini Singapura 7,86%, Malaysia 4,8%, Thailand 4,3% dan Indonesia baru 3,47% dari penduduknya.
Ini berimplikasi ” linier ” pada pendapatan per kapitanya, makin banyak jumlah entrepreneur, maka makin tinggi pendapatan per kapitanya. Konkretnya Singapura sekitar USD 83.000, Malaysia sekitar USD 12.000, Thailand sekitar USD 7.800 dan Indonesia sekitar USD 5.200 tahun 2024 ini. Sehingga semua negara berlomba untuk meningkatkan jumlah entrepreneur dengan ragam caranya.
Selain peran entrepreneur di atas tadi, juga meningkatkan daya beli masyarakat akibat cipta lapangan kerja. Juga erat korelasinya terhadap pertumbuhan ekonomi, karena entrepreneur berperan sebagai investor, pelaku investasi produktif jangka panjang. Konkretnya, lahan terlantar 10.000 hektar, karena ada investasi maka jadi produktif omzet Rp 2 triliun/tahun.
Lahan terlantar jadi tempat investasi produktif oleh entrepreneur tersebut. Jika diurai maka akan terjadi pendistribusian pendapatan ke masyarakat. Kebun dan pabrik di atas lahan 10.000 hektar akan membutuhkan pekerja minimal 2.000 keluarga, dengan anggaran Rp 14 miliar/bulan. Otomatis akan jadi bekal masyarakat untuk belanja pangan, papan, sandang, sekolah anaknya dan lainnya.
Pada rantai ekonomi berikutnya. Entrepreneur tersebut akan membayar pajak PBB, PPh, PPN, BPKB dan pajak ekspor minimal 10% dari omzet Rp 2 triliun tersebut, maka wajib pajaknya sekitar Rp 200 miliar/tahunnya. Ini masuk kas negara jadi APBN untuk gajian ASN, TNI/Polri, penelitian, pendidikan, kesehatan, bansos yang tidak mampu, pembangunan jalan dan lainnya.
Pada rantai ekonomi sisi lainnya pada masyarakatnya. Karena anggaran gajian karyawan Rp 14 miliar/bulan maka ” punya daya beli ” lalu dibuat belanja pangan berimplikasi petani peternak dapat rejeki, hasil karyanya diserap oleh pasar. Juga dibuat belanja papan otomatis semen, sarana bangunan, KPR rumah , tukang juga pada dapat rejeki karena produk dan jasanya terpakai oleh konsumen.
Masih sangat banyak implikasi lain pada rantai berikutnya. Karena entrepreneur tersebut punya 2.000 an pekerja dapat gaji sekitar Rp 14 miliar/bulan. Otomatis kendaraan pada laku kontan dan kredit/leasing, ini berimplikasi dana masyarakat di perbankan juga produktif. Padahal tahun 2023 dana masyarakat parkir di bank Rp 7.600 triliun karena kurangnya investor/entrepreneur.
Namun demikian iklim investasi Indonesia makin baik ditandai indeks daya saing meroket ke peringkat 27 dan efisiensi investasi juga makin menggembirakan. Menurut Bank Indonesia ICOR (Incremental Capital – Output Ratio) makin rendah pada angka 4 – 6, artinya makin efisien lagi. Menandakan ekonomi Indonesia makin menjanjikan karena iklim investasi membaik.
Artinya prospek menjadi entrepreneur di Indonesia makin menjanjikan. Makin nyata efisien berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Konkretnya jika mau tumbuh 8%/tahun agar jadi negara maju berpendapatan per kapita minimal USD 13.800 an atau Rp 18 juta/bulan. Harus banyak entrepreneur sebagai investor pencipta lapangan kerja, pengangguran ditiadakan.
Lalu, apa cirinya calon entrepreneur ?
Biasanya terlahir dan hidup di tengah keluarga dan masyarakat yang punya mental daya juang tinggi. Punya kemauan keras maju dan pantang menyerah. Bukan manja dan bermalasan. Karena syarat mutlak jadi entrepreneur harus punya kecerdasan emosional di lapangan yang tinggi. Tidak cukup hanya punya kecerdasan intelektual IQ tinggi dengan nilai akademik cumlaude.
Biasanya saat masih anak – anak suka improvisasi diri mencari solusi sendiri dengan ide gagasan kreatifnya. Misal saat bola mainannya jatuh di bawah kolong meja atau tempat tidur, bukan menyerah menangis minta bantuan. Tapi upaya sendiri mencari gala pengait sebagai solusinya. Saat remaja, sekolah bertingkah beda dan suka kalimat matematika studi kasusnya, stimulus pola pikir entrepreneurship.
Saat dewasa, bukan masuk kelompok yang suka merengek dan menyalahkan keadaan. Bukan juga suka merendahkan pihak lain. Bukan kelompok suka iri dengki dengan kesuksesan pihak lain, justru berupaya mendekat agar bisa kerja sama sinergis. Terpenting selalu konsisten membangun ” merk perorangan ” dengan cara membangun kepercayaan ke publik sebagai jalan pintas menuju harapannya.
Salam Inovasi š®š©
Wayan Supadno
Praktisi Agribisnis
HP 081586580630