Sungguh, saya sangat heran akhir – akhir ini banyak pihak termasuk para pakar merespon kurang positif terhadap rencana konkret pemerintah mau impor sapi indukan. Karena dianggap akan menghadapi kesulitan pakan sapi. Aneh Bin Ajaib. Pesimistis non logis. Kurang empiris.
Padahal pengalaman saya mengelola sapi di Pangkalan Bun Kalteng. Limbah pabrik kelapa sawit solid dan bungkil begitu berlimpahnya. Karena rendemennya 6% dari TBS (Tandan Buah Segar) yang selama ini 265 juta ton/tahun setara dengan 16 juta ton pakan sapi/tahun.
Selama ini bungkil sawit hanya diekspor ke Australia, Selandia Baru dan lainnya. Jadi bahan baku industri pakan sapi juga. Lalu susu, daging dan sapi siap potong kembali kita impor. Negara lain dapat nilai tambah sangat banyak. Misal tercipta lapangan kerja dan lainnya.
Pelepah sawit di Malaysia tidak dibuang begitu saja seperti di Indonesia. Tapi dijadikan pakan sapi juga. Padahal dengan luas sawit kita 16,38 juta hektar. Potensinya mininal 24 pelepah/pokok/tahun x 140 pokok/hektar x 16,38 juta hektar x 10 kg/pelepah = 550.000 juta ton/tahun.
Empiris pribadi.
Saya sebagai peternak sapi integrasi dengan sawit sangat menikmati. Karena dapat pakan murah berlimpah dan kontinuitasnya terjaga. Mutu uji proksimat juga sesuai SNI (Standar Nasional Indonesia) yaitu protein 18%, lemak 8%, serat kasar 21% dan kalori 4.500.
Artinya untuk ternak sapi breeding sekalipun, juga sangat menguntungkan. Karena biaya ternak sapi 70% variabelnya dari pakan. Sehingga harga pokok produksi (HPP) bisa sangat kompetitif. Tanpa harus dengan biaya sangat mahal yang bersumber dari pabrikan, misalnya.
Sisi lain pada saat bersamaan, rutin setiap hari dapat hasil pupuk yang nilainya setara dengan biaya pakannya. Yaitu feses sekitar 15 kg kering angin/ekor indukan dan 10 liter feses/ekor indukan. Saya rekayasa dengan biang mikroba formula saya sendiri Bio Extrim dan Bomax jadi pupuk super duper.
Kalkulasi logisnya, biaya pakan tidak lebih dari Rp 12.000/ekor indukan/hari. Begitu juga pendapatan dari feses urine juga sekitar Rp 12.000/ekor indukan 500 kg sapi hidup/harinya. Pengalaman saya ini sangat jarang dilakukan oleh masyarakat. Bahkan saya dulu dianggap ” gila ” oleh orang lain.
Artinya biaya produksi harian, harus setara pendapatan harian, itu prinsip saya. Patut saya syukuri pada akhir – akhir ini makin banyak yang ikutan pola saya di atas, apalagi setelah banyak berkunjung ke BJA Farm, Pusat Hilirisasi Inovasi Ekonomi Sirkular Nol Limbah, Biokonversi. Kandang sapi saya.
Pendek kata, terus nampak aslinya bahwa kita ” hanya suka ” debat wacana saja. Beretorika teori saja. Non kajian ekonometrika berbasis empirik. Ini yang selama ini sangat saya hindari. Karena saya sadar inilah sebabnya peternakan kita tertinggal, makin banyak impornya.
Sejujurnya, saya lebih suka berbuat nyata di lapangan lalu saya sebar luaskan agar jadi sumber ” ilmu hikmah ” bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa, karena ajakan dengan keteladanan lapangan. Indonesia sangat kekurangan suri tauladan lapangan, tapi berlimpah yang suka debat berwacana ria.
Menggelikan. Ilmu hanya dipahami dan dihafal saja, tanpa banyak dipraktikkan di lapangan. Padahal ilmu paling terbaik adalah yang dipraktikkan dan ilmu yang paling mulia adalah yang bermanfaat bagi orang lain jumlah banyak jangka panjang. Padahal idealnya harus dipikirkan, dibahas dan dipraktikkan dengan konsisten linier.
Kesimpulan, mari kita sambut dengan penuh antusias rencana konkret pemerintah impor sapi bakalan agar berbiak massal. Ilustrasinya jumlah impor sapi, daging kerbau dan daging sapi selama ini setara 2,5 juta ekor sapi hidup 350 kg/ekor. Sesungguhnya itu setara anakan dari indukan 3 tahun lalu 2,5 juta ekor.
Jika selama ini yang kita impor jantan semua setara dengan hasil kerja indukan 5 juta ekor di luar negeri sana. Indonesia minus indukan sapi 6 juta ekor agar beranak 5 juta ekor jantan betina/tahun, jantannya saja 2,5 juta ekor setara dengan jumlah impor selama ini. Kalau dulu 1984 kita ekspor sapi jumlah banyak. Ehm !
Implikasinya selama ini lapangan kerja peternak pedesaan hilang 1 juta keluarga, jika 6 ekor/keluarga. Menguras devisa minimal Rp 90 Triliun/tahun untuk impor susu, sapi hidup jantan siap potong dan daging kerbau sapi. Lalu terjadi banyak pengangguran, pada ramai – ramai jadi TKI dan dampak negatif lainnya.
Peluang emas untuk kesejahteraan masyarakat pedesaan ini makin direbut oleh para importir dan oknum pejabat yang ” gemar impor ” tapi suka ekspor bahan mentah. Persis bagai ke pasar menjual singkong murah, pulangnya membawa getuk goreng yang mahal. Karena suka ekspor bungkil, pulangnya impor sapi dan susu.
Salam Mandiri š®š©
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630