Mon. Jun 23rd, 2025

Kawula muda yang selalu saya banggakan. Kali ini saya berkisah pengalaman saya pribadi masa lalu. Kaitan ajaran Guru Malamku. Yang banyak berperan mewarnai hidupku, bisa diambil ilmu hikmahnya. Sangat bermanfaat.

Guru Malamku, multi latar belakang. Saya tidak pernah peduli apapun suku, agama, ras dan golongannya. Asal nyata jadi sumber keteladanan masyarakat luas, saya jadikan tempat mengasuh dan mengasah diri.

Guru Malam A.

Beliau Jawa dan Islam. Pimpinan Pondok Pesantren. Mengajarkan kiat mengarungi kehidupan ini, bagai meniti buih. Tidak cukup hanya pandai, harus pandai – pandai agar tidak tenggelam.

Niat baik (Nawaitu). Tambatkan dan pegang erat hingga sampai puncak tujuan tali itu bernama niat. Ibaratnya sebuah cita – cita di atas bukit terjal, tali pengantarnya adalah niat. Tanpa konsisten digenggam erat akan terasa berat.

Kesungguhan. Barang siapa yang bersungguh – sungguh maka dia yang akan menuai hasilnya (Man Jadda Wajada). Cita – cita adalah kesungguhan. Jangan pernah main – main untuk meraihnya, harus selalu dengan kesungguhan.

Berbagi. Menanamlah untuk anak cucu generasi penerus kita (Naghrisu Liman Ba’dana). Ini falsafah. Maknanya bukan hanya menanam tumbuhan. Tapi segala hal benih kebajikan. Harus senantiasa berbagi, agar jadi benih rezeki untuk kita juga.

Bermanfaat. Sebaik – baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain (Khoirunnas Anfa’uhum Linnas). Beliau selalu menekankan hal ini agar murid – murid bermanfaat bagi siapa saja tanpa kecuali. Praktik harian.

Guru Malam B.

Beliau Jawa dan Hindu. Sangat disegani. Namanya harum, walau sudah tiada. Persis peribahasa harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading tapi manusia mati meninggalkan nama baiknya.

Diawali. Cita – cita harus diawali dengan langkah nyata (Penjongko, kudu dijangkahne). Tidak cukup hanya menghafal teori. Harus konsisten praktik. Satu langkah awal, lebih bermakna dari pada seribu langkah mimpi belaka.

Bermanfaat. Hidup harus dihidup – hidupkan oleh dirinya sendiri dengan semangat agar hidup lebih bermakna (Urip iku urup. Sejatine urip kudune diurip – uripi sampai urip, urup madangi sanak kadang). Bermanfaat bagi orang lain.

Kembalikan ke diri sendiri (Tat Twam Asi/Tepo seliro). Apapun yang dilakukan, hendaknya sebelum melakukan dikaji terlebih dulu walau hanya di dalam hati. Agar nilai manfaatnya optimal, mudaratnya minimal. Jangan mencubit, jika tidak mau dicubit.

Keseimbangan. Agar lestari sukses berkelanjutan jangka panjang (Tri Hita Karana). Bertaqwa kepada Sang Pencipta, menyayangi sesama dan menghormati menjaga alam semesta sekitarnya. Ekonomi, ekologi dan sosial mesti dijaga keseimbangannya.

Konsistensi. Tidak munafik. Artinya melihat seseorang beragama dengan keimanannya, cukup dilihat dari konsistennya antara pikiran (Manacika), ucapan (Wacika) dan perbuatan (Kayika) biasa disebut Tri Kaya Parisudha.

Tahu diri. Maknanya mesti bisa merasa, bukan hanya merasa bisa. Jika sudah diberi lebih dari yang diminta, do’anya jika sudah khabul harus merasa dan bersyukur dengan penjabaran nyata (Wis diujo ora rumongso, sejatine yen ketrimo wis kamulyo).

Kesimpulannya, kawula muda bisa terjemahkan sendiri dalam hati pikiran (manacika) atau didiskusikan (wacika) lalu dipraktikkan (kayika). Jika petuah ajaran Guru Malamku tersebut dipatuhi, niscaya akan terwujud harapannya.

Kata kunci, harus bisa jadi ” gembala ” diri sendiri dan membangun lalu memberdayakan diri (ngulir pambudi). Diri kita adalah anugerah Tuhan terindah, keramat lagi sentosa. Sayangi yang di bumi, niscaya yang di langit menyayangimu juga.

Salam Improvisasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *