Mon. Jun 23rd, 2025

Karena El Nino maupun El Nina banyak negara mengalami permasalahan pangan utamanya. Termasuk Indonesia yang butuh beras jumlah besar minimal 32 juta ton/tahun karena penduduknya 278 juta jiwa.

Jika kita mau lihat data di atas menunjukkan indeks asupan kita sangat tinggi yaitu 32 juta : 278 juta = 116 kg/kapita/tahun. Sangat besar dibandingkan negara Asean lainnya yang hanya antara 50 sd 70 kg/kapita/tahun.

Kebutuhan beras 116 kg/kapita/tahun semua penduduk Indonesia tersebut. Jika dikaji terasa tidak logis. Bisa jadi memang kita maniak beras, kita boros beras atau terlalu banyak beras terbuang jadi sampah limbah.

Padahal volume produksi beras Indonesia terbanyak di dunia setelah RRC dan India. Tapi tetap kurang karena indeks asupannya 116 kg/kapita/tahun. Bahkan jumlah impor beras 2024 diprediksi tembus 5 juta ton. Luar biasa.

Perubahan cuaca ekstrem, El Nino dan El Nina. Memang memaksa kita harus berpikir dan bertindak beda. Tidak lagi bisa berpedoman seperti masa lalu, ajaran leluhur kita. Misal Oktober sd Maret musim hujan (rendeng).

Kita tidak akan makin bisa bijak dan pintar jika tanpa pernah menghadapi masalah berulang kali. Kita juga akan jadi negara terbelakang jika tanpa pernah menghadapi kesulitan. Sebaliknya, kita akan jadi pemalas jika serba mudah.

Pangan soal hidup matinya sebuah bangsa (Bung Karno, 1952, Peletakan batu pertama Kampus IPB). Artinya berpesan jangan main – main dengan pangan, antisipasi pangan ke depan. Siapkan generasi peneliti, produsen pangan.

Sayangnya kita gagal melakukan regenerasi produsen pangan. Sensus Pertanian terakhir 2023 komposisi petani muda usia 15 sd 24 tahun hanya 1,24% saja. Petani akan makin sedikit, jumlah penduduk makin banyak.

Begitu juga indeks kepemilikan lahan pertanian sempit, makin massal. Data BPS petani di bawah 1 ha/KK ada 21 juta hektar dari 29 juta petani. Artinya pangan beras khususnya ” bertumpu ” pada petani yang pendapatan per kapitanya rendah.

Kalkulasi logisnya, omzet menanam padi jagung kedelai maksimal Rp 100 juta dengan laba Rp 36 juta/ha/tahun/KK. Atau setara Rp 3 juta/KK/bulan. Jauh dari harapan sebagai syarat mutlak jadi negara maju, minimal Rp 16,5 juta/bulan.

Kondisi ini berpotensi alih profesi dari petani ke profesi lain. Juga berpotensi anak muda enggan bertani. Berpotensi anak muda enggan studi di pertanian. Konsekuensi logisnya, ke depan Indonesia terancam kekurangan pakar pertanian dan petani.

Pendek kata, jika mau swasembada pangan maka syarat mutlak harus punya petani hebat. Hebat mental, pola pikirnya dan hebat luas lahannya. Hebat pendapatannya. Jika tidak hebat, maka tidak bakalan betah jadi petani. Akan jadi ancaman serius bangsa.

Solusinya ?

Intensifikasi yang adaptif dengan inovasi. Smart farming, misalnya. Contoh dengan Green House, AI dan Irigasi Drip. Seperti Taiwan, Belanda. Pusat inovasi dan dijuluki Dapur Dunia. Sehingga produktivitasnya bisa minimal 5 kali lipatnya konvensional.

Contoh di Banyuwangi. Saya pulang kampung selama 5 hari. Cabai ditanam dalam green house, Irigasi Drip dan AI. Bisa 6 kg cabai/pohon, lazimnya 1 kg/pohon. Jika 15.000/ha, selisih 5 kg/pohon x15.000 pohon = 75 ton. Setara Rp 3 miliar/ha, jika harga cabai Rp 40.000/kg.

Ekstensifikasi yang inovatif. Jika dulu hanya bergantung pada lahan yang harus ada sumber air. Agar bisa menanam padi 3 kali/tahun. Sekarang beda. Padi tidak lagi boros air, cetak sawah bisa di gurun pasir. Semua berbekal mental suka aplikasi iptek saja.

Situasi anak muda yang inovatif dengan produktivitas tinggi, rendah harga pokok produksi (HPP) nya, laba banyak, makmur sejahtera pelakunya dan swasembada pangan. Itulah harapan besar Bung Karno saat peletakan batu pertama Kampus IPB dengan berapi – api tahun 1952.

Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *