Prevalensi stunting kerdil anatomi dan retardasi kecerdasan di Indonesia tergolong tinggi sekali. Konkretnya tinggi badan rerata hanya 158 cm dan IQ rerata hanya 78,49. Terendah di Asean setelah Timor Leste.
Itu dampak prevalensi stunting 37% di tahun 2013. Kita bersyukur saat ini 2023 prevalensi stunting tinggal 21,6%. Ideal negara maju maksimal 5% saja. Masih tertinggi di Asean, setelah Timor Leste. Penyebab dominan kurang protein hewani.
Impor meroket dan depopulasi.
Stunting, karena gagalnya mengelola sapi sumber protein hewani. Daging sapi mahal, karena kurang sapi, permintaan tinggi. Sapi Indonesia mengalami depopulasi 2,4 juta ekor, tinggal 11,8 juta ekor (Sensus Pertanian 2023).
Impor sapi dan daging sapi kerbau 2,5 juta ekor tahun 2023. Anehnya, yang diimpor bukan sapi bakalan calon indukan, agar jadi lapangan kerja masyarakat dan berbiak. Tapi sapi siap potong dan daging sapi kerbau.
Progja Sapi Tamasya.
Lucu sekali ini, progja pemerintah baik APBN/APBD progja bantuan sapi betina. Hanya beli dari daerah lain. Persis ” Sapi Tamasya ” saja. Tanpa kajian logika dasar bahwa adanya impor kan karena kurang indukan.
Kalkulasi logisnya. Kita defisit 6 juta ekor indukan. Jika itu ada maka anaknya jantan betina akan 5 juta ekor/tahun. Khusus jantan saja asumsi 50%-nya, setara dengan 2,5 juta ekor/tahun. Pas sesuai jumlah yang diimpor.
Ekonomi rakyat terdegradasi.
Jumlah impor sapi dan daging sapi kerbau setara 2,5 juta ekor. Setara dengan Rp 50 triliun/tahun. Ini ” kapital terbang ” rutin. Kita memakmurkan peternak di luar negeri. Yang pakan sapinya impor bungkil sawit dari Indonesia.
Ini harusnya hak masyarakat peternak. Rezekinya masyarakat desa. Lapangan kerja pedesaan ” tergerus ” karena impor. Setara omzetnya 800.000 orang peternak kita, jika butuh Rp 70 juta/tahun/peternak. Peternak kita ” gigit jari ” saja.
Indonesia sumber pakan berlimpah.
Sawit di Indonesia luasnya 16,38 juta hektar. Menghasilkan tandan buah segar (TBS) 258 juta ton/tahun. Terkandung bungkil dan solid dengan rendemen 6% dari TBS tersebut. Setara 15 jutaan ton/tahun.
Selama ini bungkil sawit hanya diekspor jadi bahan baku industri pakan sapi di luar negeri jutaan ton/tahun. Solid sawit selama ini hanya terbuang saja di pabrik kelapa sawit (PKS). Hanya saya saja yang menjadikan pakan sapi.
Padahal hasil uji mutu proksimat yang saya lakukan di Sucofindo mutunya di atas SNI. Kadar protein kasar 21%, Serat Kasar 19%, Lemak Kasar 9% dan Kalori 4.512. BETN dan TDN juga bagus. Pertanda sangat layak makanya jadi rebutan dunia.
Kesimpulan dan saran.
Harusnya kita malu. Kita impor sapi, tapi ekspor bungkil sawit pakan sapi jutaan ton per tahun ke eksportir sapi. Harusnya juga malu impor sapi 2,5 juta ekor/tahun, karena kita pernah jadi eksportir sapi tahun 1984.
Idealnya kebijakan perbanyakan sapi indukan agar prevalensi stunting rendah, bukan ” Sapi Tamasya ” saja, beli dari daerah lain. Muter – muter saja, yang penting bisa dijadikan obyek selfie. Ehm ! Tapi harus impor calon indukan 6 juta ekor.
Agar berbiak, sehingga jadi lapangan kerja dan tanpa kapital terbang ke Australia rutin Rp 50 triliun/tahun. Agar sumber protein hewani berlimpah lalu murah. Masa depan Indonesia, kita titipkan kepada generasi tinggi badannya, tinggi pula IQ nya.
Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630