Mon. Jun 23rd, 2025

Ibaratnya, sebuah konser musik. Tidak selaras antara semua pihak yang berperan. Baik penyanyi dan penari. Apalagi para pendukungnya gamelan, gitar dan lainnya. Yang main tidak nyaman, apalagi penontonnya.

Arti judul di atas merupakan perpaduan multi kepentingan dan peran dari berbagai aspek. Untuk menyelaraskan kontribusi bisnisnya. Sehingga tercipta sinergitas yang mampu mendongkrak produktivitas kolektif.

Pola ini biasanya dilatar belakangi oleh situasi tidak selaras dinamis. Bahkan sangat tepat jika lagi statis panik dan banyak bisnis lagi ” declining ” menuju jurang kematian bisnis secara massal.

Secara umum akibat masalah global. Tidak bisa diatasi sendiri, harus kolektif. Masalah yang di luar nalar manusia normal. Akibat geopolitik, perubahan iklim dan bencana alam skala luas covid 19, misalnya.

Akibatnya skala global terjadi dinamika yang sulit bisa dipercaya. Tapi jadi kenyataan. Siapa sangka daya saing Indonesia bisa melompat dari peringkat 34 ke 27. Mengalahkan Jepang, India, Inggris, Malaysia dan lainnya.

Skala nasional, juga sulit dipercaya tapi jadi kenyataan. Empirik. Siapa sangka di Indonesia saat ini puluhan industri tekstil dan industri berbahan baku karet pada gulung tikar. Tapi saat bersamaan akan hadir industri dari Cina mau investasi di Indonesia, bisnis serupa.

Skala mikro, banyak masyarakat kena dampaknya. Karena perusahaan tempat kerja kehilangan pesanan produknya, akibat pertumbuhan ekonomi minus di negara tujuan ekspor. Otomatis PHK massal tidak terhindarkan.

Implikasinya meluas di akar rumput ekonomi riil di masyarakat luas. Kepanikan massal timbul. Karena tanpa pendapatan, praktis daya beli jatuh. Ini ancaman sangat serius jika jutaan umat manusia terancam sumber pendapatannya putus.

Ditambah lagi dengan pangan mahal dan tergantung dari negara lain. Negara lain bahan pangan beras, kedelai, gula, sapi dan lainnya. Mau jual atau tidak ke Indonesia, suka – suka merekalah. Termasuk harga yang dibandrol. Di sinilah arti pentingnya swasembada.

Karena di BPS dan Bank Indonesia terekam pangan sebagai ” biang kerok ” meroketnya inflasi. Lalu diatasi dengan bansos dan subsidi. Padahal harusnya ini tidak boleh berlarut – larut. Harus diorkestrasikan ulang. Dikolaborasikan kembali.

Solusinya ?

Konsolidasi kekuatan. Buat kaji ulang bersifat menyeluruh dicari pangkal masalahnya dan tata ulang. Agar kembali terbangun semangat kemandirian lagi. Jika ini lamban dilakukan akan makin dalam masalahnya. Persis lumpur hidup saja.

Konkretnya, perbanyak lapangan kerja. Baik dengan cara ” scale up ” bisnis yang ada. Atau ” replikasi ” bisnis yang ada juga. Keduanya berimplikasi pada perbanyakan serapan pengangguran agar kembali produktif. Sehingga APBN tidak boros untuk bansos.

Agar masyarakat tidak menganggur lalu clometan adu domba dan judi online, misalnya. Keduanya kontraproduktif. Jika masalah ini terus dibiarkan jadi ancaman stabilitas negara, karena terbentuk budaya baru yang jahat.

Bukan saya ke GR an. Andai pemerintah melakukan ” scale up ” bisnis saya dengan stimulus yang logis bisnis dan pelayanan prima semestinya. Andai sapi milik saya ditambah 5.000 ekor maka akan menyerap pengangguran jumlah banyak.

Begitu juga andai bisnis saya BJA Farm ” direplikasi ” di banyak desa. Misal 10.000 desa, tenaga kerja terserap 10.000 x 140 orang, setara 1,4 juta pengangguran dapat kerja. Impor sapi bisa distop. Masyarakat tanpa butuh bansos. Mandiri.

Salam 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *