Sungguh, saya selaku perwira peneliti, pendidik dan pebisnis merasa sangat prihatin. Saat Indonesia daya saingnya melompat dari peringkat ke 34 jadi 27. Justru nilai terjelek pada pendidikan dan penelitiannya.
Juga sangat prihatin saat pejabat BPS memberi data hasil Sensus Pertanian 2023. Ternyata jumlah petani turun dari 31 juta, tinggal 29 juta dan itupun petani muda usia 15 – 24 tahun hanya 1,24% saja. Konkret ancaman pangan mendatang.
Prihatin menyimak hasil riset, para konglomerat Indonesia 87% bukan sarjana dan 92% berasal dari keluarga sangat sederhana. Jumlah persentase pengusaha dari penduduk kita, kalah dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Fenomena minimnya jumlah pengusaha hanya 3,47%, berdampak pada pendapatan per kapita kita kalah. Sekalipun PDB kita terbesar ke 16 di dunia. Konkretnya, Singapura 18 kali Indonesia, Malaysia 3 kali Indonesia dan Thailand 2 kali Indonesia.
Masa depan pangan suram.
Prediksi 20 tahun lagi 2045, jumlah petani kita hanya maksimal 10 juta saat jumlah penduduk 350 juta. Karena petani saat ini usia 15 – 24 tahun hanya 1,24%, sekitar 3 juta saja. Karena gagal mendidik praktisi pertanian inovatif. Seperti sastrawan pertanian saja.
Implikasinya, saat ini saya Anggota Dewan Pakar Sawit. Mencari sarjana pertanian 10 orang saja sebagai pemilik (pebisnis) sawit di atas 500 hektar dari total 16,38 juta hektar. Sangat kesulitan. Tapi yang jadi pekerja perusahaan raksasa sawit PMA/PMDN banyak sekali.
Artinya sarjana pertanian kita, banyak yang jadi ” Tim Sukses “nya para Konglomerat Indonesia dan PMA para pemilik sawit yang luasnya 16,38 juta hektar. Sarjana pertanian hasil didikan kita bukan jadi ” owner ” perusahaan sawit yang terbentang luas di negeri ini.
Kita mencari 10 orang sarjana pertanian sebagai pemilik (pengusaha) kilang padi ” sangat sulit ” dari puluhan ribu kilang padi di Indonesia. Begitu juga yang berprofesi cetak sawah dan kebun kaliber 200 hektar/tahun, seperti saya. Yang sarjana pertanian. Juga sangat sulit.
Sebaliknya jika kita mencari sarjana pertanian yang kerja di perbankan sangat banyak sekali. Mulai yang muda belia baru diterima hingga yang jadi pimpinan, mau pensiun. Walaupun kondisi ini dianggap benar oleh sebagian dosen yang ngeles cari pembenaran.
Artinya hasil didikan kita, sarjana pertanian tidak praktik menjabarkan ilmu pertanian di lapangan secara inovatif. Intensifikasi maupun ekstensifikasi untuk antisipasi di masa depan. Wajar pangan kita kalah bersaing, karena diproduksi ” bukan ” oleh ahlinya.
Begitu juga di organisasi formulator dan produsen pupuk yang saya ikuti. Nyaris tiada ” owner/entrepreneur ” pabriknya yang sarjana pertanian khususnya ilmu tanah. Termasuk tiada juga sarjana teknik kimia. Tapi kalau jadi pekerja atau sekedar konsultannya banyak.
Begitu juga pabrik/industri pangan modern berteknologi tinggi. Produknya diekspor dan bahan bakunya bermitra dengan para petani. Tiada satupun, pengusaha/pebisnis/investornya yang sarjana pertanian atau sarjana teknologi pangan. Kalau karyawan sarjana teknologi pangan, banyak.
Mencari pengusaha peternakan breeding/pembibitan/pembiakan sapi yang populasinya indukan 500 ekor lebih saja. Yang sarjana peternakan saya sangat kesulitan. Tapi di bank, tiap cabang selalu ada saja sarjana peternakan. Wajar tahun 1985 ekspor sapi, saat ini 2024 impor daging dan sapi setara 2,5 juta ekor/tahun.
Lalu berdampak mahalnya daging sumber protein hewani karena langka bersumber dari impor. Ini juga berdampak serius pada prevalensi stunting kita masih 21,6% ideal negara maju maksimal 5% dan IQ rerata hanya 78,48 idealnya 110. Hampir terjelek di Asean. Padahal inilah ” kunci pintu gerbang ” Indonesia maju.
Padahal jumlah perguruan tinggi di Indonesia terbanyak di dunia 4.000 an. Padahal sarjana pertanian arti luas, terbanyak di dunia. Padahal wisuda 400.000 an/tahun. Padahal agar Nol pengangguran.
Hanya butuh 75.000 orang pengusaha baru dengan pekerja 100 orang lebih, sekaliber saya saja.
Ilmu hikmahnya. Kita jadi tersadarkan bahwa keadaan kita saat ini adalah hanya buah dari benih yang kita tanam di masa lalu. Fakta sekarang adalah dampak sikap kita di masa lalu. Tiada guna ngeles mencari pembenaran. Tegakkan kebenaran. Idealnya rendah hati, mawas diri dan benahi diri.
Tuhan berjanji, tiada kan mengubah nasib suatu kaum/bangsa, jika kaum/bangsa tersebut tidak berusaha mengubahnya sendiri. Tuhan juga berjanji, siapa yang bersungguh – sungguh maka dialah yang bisa berhasil dan perubahan sebesar apapun berawal dari diri sendiri saat ini juga.
Salam 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630