Tiap kali saya masuk ke kantor perusahaan raksasa multinasional. Untuk undangan narasumber dalam ” National Meeting ” pada Divisi Riset dan Pengembangan. Misal Astra Agro Lestari, Salim Group dan lainnya.
Selalu aromanya nuansa ajakan agar semua tanpa kecuali kreatif dan inovatif. Bahkan di dinding banyak semboyan tertulis ” Inovasi atau Mati “. Artinya jika tanpa mental inovatif maka bisnisnya mati kalah berkompetisi.
Di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian. Ada 3 kali jadi narasumber di hadapan para pakar pertanian, ratusan orang. Di aula juga pesannya memotivasi agar inovatif, supaya jadi solutif.
Di Kampus ITS Surabaya. Sama juga spiritnya agar adaptif dengan teknologi. Karena teknologi menghadirkan kemakmuran masyarakat luas. Di ruang Rektor nampak jelas moril inovasinya tinggi.
Dari testimoni beberapa tempat di atas. Perusahaan bisa besar karena inovasinya. Kumpulan para pakar di Kementerian dan Perguruan Tinggi juga mengajak agar kita berinovasi kalau mau lestari bisnisnya.
Kawula muda, jika bertani dan beternak hal ” mutlak ” harus pada kesempatan pertama adaptif dengan inovasi. Begitulah cara saya selama ini. Jika selama ini saya tanpa suka riset dan suka menghilirisasikan inovasi pasti beda hasilnya.
Sehingga walaupun 14 tahun silam, saya masih Nol besar. Karena bangkrut usaha rumah sakit, klinik apotek dan properti Rp 38 miliar. Tapi sekarang sudah ” running well ” passive income. Setidaknya mengkaryakan lebih dari 100 orang. Puji syukur.
Konkretnya :
Tiada satu pohon pun sawit saya yang bukan hasil inovasi secara legal dari Pusat Penelitian. Sehingga rendemen CPO bisa tinggi, lalu menjualnya mudah. Bahkan jadi rebutan pabrik kelapa sawit (PKS) mereka lomba harga mahal penawaran ke saya.
Potensi hasil biomassanya (TBS) di atas rerata milik petani. Karena biaya rendah, tapi hasil banyak. Jika dijadikan indeks atau harga pokok produksi (HPP) jadi murah. Maksimal Rp 1.100/kg TBS sampai PKS. Padahal harga jual Rp 2.500/kg.
Ilmu hikmahnya, berkat bibit inovasi profit margin bisa di atas 100%. Berkat inovasi maka volume hasil dalam luasan sama bisa 2 – 3 kali lipatnya dari orang lain yang tidak adaptif dengan inovasi. Otomatis cepat kembali modal (ROI) nya.
Contoh lain. Untuk sensus dan kontrol mutu tanaman sawit 300 hektar misalnya. Biasanya jika manual membutuhkan 20 orang selama 3 hari. Kalau memakai Drone, cukup 2 orang selama 3 jam saja kelar. Jadinya hemat, HPP rendah.
Muat sawit sama juga. Biasanya Rp 25.000/ton. Jika 200 ton butuh 40 orang. Sibuk sekali. Saya ubah memakai Mesin Loader cukup anggaran Rp 7.000/ton hanya dengan 1 orang operator. Sisanya bisa kerja pada bidang lain di kebun. Hemat Rp 3,6 juta/hari.
Pada usaha ternak sapi milik saya. Awalnya saya dianggap ” Gila ” pada ngomeli saya. Karena saya beri pakan limbah pabrik kelapa sawit. Solid, namanya. Setelah saya uji mutu proksimat di Sucofindo dan uji efektivitas. Bisa sangat murah hanya Rp 300/kg. Lancar jaya.
Implikasinya HPP sapi saya rendah sekali. Itu pun masih dapat anak sapi dan feses urine untuk kebun yang selalu kurang. Hingga Nol limbah. Ekonomi Sirkular. Sekarang banyak yang latah, termasuk yang dulunya ikut ngomeli dan menganggap saya gila. Ehm !
Hijauan pakan sapi. Saya adaptif dengan hasil riset dari UGM Yogyakarta. Gama Umami, namanya. Kadar protein kasar 16%. Biomassanya besar. Luas 1 hektar bisa buat 50 ekor sapi. Dengan begitu HPP hijauan makin rendah lagi.
Apalagi saya tanam sedekat mungkin dengan kandang sapi, luas 23 hektar. Tidak perlu ongkir mahal, pupuknya Gama Umami cukup limbah cucian kandang sapi. Sekaligus tumpang sari dengan Durian, Alpukat dan Jeruk Madu Chokun. Taktis ini penting bagi Kawula Muda.
Di kolam ikan Patin. Sama juga, saya harus inovatif. Misal agar populasinya ikan bisa tambah 70% lagi, pada luasan kolam sama. Maka saya belikan Kincir air penghasil arus dan oksigen. Dengan harapan kematian rendah, ikan sehat, cepat besar dan laba tambah.
Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630