Sun. Jun 29th, 2025

Menurut riset IMD World Competitiveness Ranking bahwa peringkat daya saing Indonesia melompat dari 34 ke 27. Ini prestasi luar biasa. Ini harus kita syukuri bersama. Prestasi bagus.

Di Asean hanya kalah dibanding Singapura dan Thailand saja. Malaysia ganti ranking ke 34 saja, turun. Negara lainnya di Asean disalip semua. Bahkan mengalahkan Inggris ke 28, Jepang ke 38 dan India ke 39.

Ini berkat kinerja dari pembangunan infrastruktur secara massal. Stabilitas politik. Efisiensi pebisnis dan pemerintah. Berdampak pada performa ekonomi dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) membaik.

Rapor jeleknya ada bidang kesehatan, pendidikan, riset dan teknologi atau hilirisasi inovasi. Selain itu juga dianggap lemah pada kesediaan pemerataan infrastruktur. Kelemahan ini butuh perbaikan agar makin kompetitif.

Ilmu hikmahnya. Bahwa sesungguhnya iklim usaha, daya dukung usaha di Indonesia yang tercipta sudah kategori baik. Kalaupun jumlah pengusaha sebagai lokomotif ekonomi, hanya 3,47%. Kalah dengan Singapura, Malaysia dan Thailand.

Mengurangi daya saing, karena kesehatan kaitan ketahanan pangan rendah dan prevalensi stunting tinggi. Pola didik belum membangun karakter kemandirian. Kinerja penelitian yang kurang pas, inovasinya belum membumi.

Artinya jika berharap Indonesia makin bisa bersaing. Harus dilakukan pada hal – hal utama yang dapat rapor merah tersebut. Sehingga rangkingnya, daya saing naik, jumlah pengusaha tambah, pertumbuhan ekonomi terus dinamis tinggi.

Di antaranya ;

Kesehatan dan ketahanan pangan. Ini jadi pondasi pertama dan utama. Karena inilah rohnya sebuah bangsa. Tanpa warga negara yang sehat karena pangannya cukup dan bermutu, maka lambat majunya.

Pendidikan dan karakter kemandirian. Ini hal vital, jika gagal berdampak fatal. Sekalipun jumlah kampus kita 4.000-an terbanyak di dunia. Jika tanpa membangun karakter mandiri maka orientasi lulusannya hanya pencari kerja saja.

Bukan mendidik pencipta lapangan kerja. Implikasi lanjutannya ” rasio ” jumlah insan pencipta lapangan kerja terlalu sedikit. Dibanding insan pencari kerja. Dampaknya pengangguran banyak dan pendapatan per kapita tetap rendah. Sekalipun PDB tinggi.

Riset dan inovasi. Ini juga dapat rapor merah. Pertanda kinerja lembaga penelitian dan para peneliti dianggap ” belum ” sesuai harapan. Hasil penelitiannya banyak disimpan di lemari. Belum membumi di pasar.

Kondisi ini erat kaitannya dengan indeks inovasi global kita baru peringkat ke 61 dari 132 negara. Konsekuensi logisnya banjir barang impor produk jadi. Suka ekspor bahan mentah supplier industri di luar negeri. Minim pengusaha industri lalu impor pengusaha inovatif (PMA).

Solusinya, para peneliti sebelum melakukan penelitian yang memakai dana ” keringat rakyat ” wujud APBN jumlah triliunan per tahun. Hendaknya terlebih dulu ada kajian pasar. Cari, temukan dan penuhi apa maunya pasar. Baru mulai riset.

Dengan begitu hasil penelitiannya mudah dikomersilkan jadi inovasi yang membumi. Bermanfaat nyata bagi masyarakat pembayar pajak buat riset tersebut. Jadi solusi konkret terhadap masalah riil di lapangan.

Jika ini terjadi konkret membangun Indonesia makin kompetitif makmur sejahtera. Karena minim ekspor bahan mentah. Minim impor produk jadi. Nilai tambah kita nikmati bersama. Barulah target Indonesia maju saat HUT Ke 100, tahun 2045 bisa terwujud. Jayalah Indonesia kita.

Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *