Tue. Jun 24th, 2025

Hampir semua sawah di pinggiran kota besar maupun kota kabupaten. Utamanya di Jawa, sawahnya makin menyempit skala ribuan hektar per kotanya. Alih fungsi sawah kelas A dan B, jadi tempat perumahan, industri, pabrik dan infrastruktur.

Seiring paralel dengan penambahan jumlah penduduk yang masih konsisten 1% lebih per tahunnya. Ini yang tidak bisa dibendung lagi. Karena banyak permintaan lahan, maka harga sawah meroket tidak logis lagi jika ditanam padi jagung kedelai (pajale).

Menanam padi omzet sekitar 6 ton GKP/ha harga Rp 6.000, setara Rp 36 juta/ha. Jagung juga tidak jauh berbeda. Kedelai di bawahnya padi. Total omzet menanam pajale Rp 100 jutaan/ha/tahunnya. Laba pajale Rp 30 jutaan/ha/tahun. Itu pun banyak yang punya 0,3 ha/KK.

Sisi lain dengan penambahan jumlah penduduk yang minimal 2,5 juta/tahun. Sejak reformasi tidak dibarengi oleh progja cetak sawah atau ekstensifikasi agar tetap sejajar sebanding dengan kebutuhan pangan. Sangat wajar, saat ini makin banyak jumlah impor pangan.

Yang paling menjebak adalah harga sawah di pinggiran kota. Tidak logis lagi. Sekitaran Jabodetabek minimal Rp 5 miliar/hektar. Di Mojokerto sama juga Rp 5 miliar/hektar. Paling menakutkan daerah Badung, Gianyar dan Tabanan di Bali minimal Rp 10 miliar/hektar.

Harga sawah ini tidak logis bisnis pangan. Alasannya jika laba pajale Rp 30 juta maka untuk kembali modal (ROI) harus minimal 160 tahun. Bahkan di Bali harus 330 tahun baru ROI. Padahal idealnya investasi agribisnis ROI paling lama harus 7 tahun.

Bagai panggang makin jauh dari api. Ini semua hanya akibat saja. Dari asupan beras kita paling tinggi yaitu 117 kg/kapita dibanding negara lain hanya 50 – 70 kg/kapita. Selain karena doyan beras, juga penduduknya terbanyak ke 4 di dunia. Saat ini 279,8 juta jiwa BPS Mei 2024.

Demi terciptanya lapangan kerja jumlah massal dibangun pabrik/hotel agar satu hektar bisa menampung ratusan tenaga kerja. Demi harga pokok produksi (HPP) nasional rendah dan kompetitif semua produk maka dibangun jalan tol. Demi sehat dibangun perumahan.

Solusinya ?

Pemerintah harus merespon cepat fenomena yang sangat mengkhawatirkan ini. Dengan cara cetak sawah massal minimal 5 juta hektar. Agar sesuai jadwal, libatkan para investor pengembang sawah atau kebun. Lalu dijual ke petani agar pada memiliki 3 hektar/KK.

Agar petani mampu membeli, hendaknya ada pola kredit diangsur dari hasil panennya. Persis seperti PIRBun Sawit atau leasing kendaraan atau KPR rumah rakyat. Agar banyak investor minat harus disubsidi untuk bendungan, jalan dan irigasinya sekitar Rp 40 juta/ha.

Dengan begitu nilai jual sawah baru di Kalimantan misalnya. Tidak akan lebih dari Rp 100 juta/ha. Maka akan jadi feasible. Hanya butuh 3 tahun kembali modal (ROI). Maka petani akan semangat menanam pajale. Karena ini hal mutlak harus swasembada.

Karena petani pajale punya 3 ha maka labanya Rp 100 juta/tahun/KK. Sehingga anak – anak petani mau meneruskan profesi orang tuanya. Jangan sampai kita lupa petani kita 88% usia tua. Artinya petani muda sedikit. Produsen pajale ke depan makin sedikit saat penduduk makin banyak. Ironis.

Ingat, bahwa syarat jadi negara maju pendapatan per kapita harus minimal USD 12.000/tahun atau USD 1.000/bulan setara Rp 16 juta/bulan. Petani juga berhak mendapatkan Rp 16 juta/bulan. Agar semangat bertani memproduksi pangan kita.

Fenomena di depan kelopak mata ini harus jadi atensi serius para pemimpin Indonesia. Ini sungguh ancaman serius bangsa kita. ” Sebuah produk atau profesi jika hanya disukai orang tua, tapi saat bersamaan dijauhi oleh anak muda. Pertanda akan punah ” Hermawan Kartajaya.

Salam 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *