Mon. Jun 23rd, 2025

Sawit di Indonesia terluas di dunia, saat ini 16,38 juta hektar. Produksi CPO (minyak mentah sawit) 49 juta ton/tahun dan PKO (minyak inti sawit) 5,6 juta ton/tahun. Indonesia juga sekaligus konsumen sawit terbesar di dunia 25,3 juta ton/tahun.

Seiring penambahan jumlah penduduk yang butuh pangan, oleokimia dan penambahan kadar sawit jadi energi diesel dari B35 ke B40 akan berpotensi jadi minimal 27,8 juta ton/tahun. Menjadikan makin swasembada energi.

Padahal moratorium perluasan sawit masih dihentikan, utamanya untuk perusahaan. Konsekuensi logis ” neraca sawit ” akan terganggu. Pasti yang dikorbankan devisa yang sempat pernah tembus Rp 633 triliun/tahun, tapi hemat impor solar fosil.

Kegelisahan, karena sawit salah satu komoditas dilarang beredar di Uni Eropa. Selain sapi, kakao, kopi dan karet. Kalau saya pribadi, bukan masalah, justru inilah momentum kita agar makin inovatif di ruas hilir. Industrialisasi.

Tentu moratorium terhadap sawit tersebut tidak berlaku bagi petani. Hanya khusus perusahaan, apalagi konglomerat. Agar rasio gini kesenjangan sosial ekonomi tidak makin lebar menganga jadi sebab cemburu sosial.

Artinya inilah kesempatan emas bagi masyarakat yang mau bertani sawit atau yang mau ekspansi kebun sawitnya. Akan makin baik lagi jika integrasi dengan ternak sapi, ekonomi sirkular, nol limbah. Agar kompetitif.

Karena target pemerintah tahun 2045. Produksi CPO 100 juta ton/tahun. Untuk mewujudkan swasembada energi biodiesel sawit berbasis CPO dan bioavtur untuk pesawat terbang berbasis minyak kernel sawit (PKO).

Beberapa alasan kenapa sawit begitu ekspansifnya hingga banyak lahan gundul tandus dan terlantar puluhan tahun bekas pembalakan. Bisa diubah jadi sawit hijau asri alami cipta lapangan kerja. Tentu para konglomerat yang punya banyak pakar/ahli memiliki pertimbangan kajian, yaitu ;

Marketable, mudah dipasarkan dengan pasti, karena multi manfaat pangan, energi, kosmetik, farmasi dan lainnya. Bahkan yang dulunya limbah saat ini jadi rebutan pasar global. Misal cangkang, bungkil dan minyak kotor (POME).

Agroklimatnya, sangat cocok di Indonesia, tidak terlalu sulit dalam budidaya dan paling inovatif dibandingkan lainnya, tiap perusahaan besar punya divisi riset dan pengembangannya. Selain ada PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit) Medan milik negara.

Nilai investasi tidak mahal mudah kembali modal (ROI). Harga pokok produksi (HPP) Rp 1.100/kg TBS, jual Rp 2.500/kg. Laba Rp 1.400/kg. Pendek kata dapat 200 kg/pokok/tahun setara omzet Rp 500.000/tahun dari biaya maksimal Rp 200.000/pokok/tahun.

Rendah resiko, karena minim ancaman hama penyakitnya dibandingkan komoditas lain dan tidak sibuk, sekali tanam produktif 25 tahun. Merawat sawit 30 bulan, gantian kita dirawat sawit 30 tahun. Asal benihnya legal hasil riset (inovasi).

Bankable, pihak bank suka mendanai, selama ini 6% kredit di Indonesia ke agro dan 87% dari itu untuk mendanai sawit, sungguh dominan. Minim sekali ada kasus kredit bank macet karena sawit. Justru bank selalu menawari fasilitas kreditnya.

Masalahnya, persis kelapa tahun 1995-an. Yaitu ” kampanye negatif ” dengan beragam cara dari dalam dan luar negeri karena ” perang dagang ” saja. Hingga kelapa kita terbengkalai dan menyusut dari 3,9 juta hektar, tinggal 2,7 juta hektar.

Sekarang patut bersyukur, kawula muda mulai menyadari ancaman tersebut hingga makin banyak peminat studi di bidang sawit. Makin banyak bisnis hilirisasi sawit agar dapat nilai tambah besar. Agar bukan negara lain penikmatnya. Sawit anugerah bagi Indonesia.

Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *