Mon. Jun 23rd, 2025

” Hidup adalah biaya. Hidup adalah menjalankan tugas agar bermanfaat untuk ciptaan Tuhan “. Itulah pesan bijak yang saya baca pada sebuah dinding di kantor perusahaan kaum milenial 4 tahun silam di Cibubur.

Saya baca dengan seksama semboyan anak muda tersebut. Saya perhatikan sejalan dengan kiprah anak muda pemilik perusahan tersebut. Mental petarung yang handal dan ulet luar biasa.

Saya amati memang pantas usahanya pemuda tersebut melejit. Karena sangat adaptif dengan inovasi. Daya nalar analisisnya cepat sekali. Nampak sekali kalau pemuda tersebut lulusan pascasarjana S2.

Punya pribadi yang berwawasan luas. Tahu persis bahwa hidup harus kerja keras dengan kecerdasan. Karena untuk membiayai hidupnya. Juga untuk ” antisipasi ” sumber pendapatan di masa depannya agar lebih terprogram.

Seakan juga punya kesadaran tinggi bahwa pada hakikatnya hidup adalah menunaikan ibadah. Harus bisa bermanfaat bagi orang lain dan ciptaan Tuhan lainnya. Dengan semboyan ditempel pada dinding.

Sama persis dengan sahabat saya dari Banyuwangi. Punya sawah hanya 0,3 ha dan rumah. Hasilnya tidak cukup untuk ” biaya hidup ” keluarganya. Karena kedua anaknya punya target harus pascasarjana S2.

Dijual semua dana hampir dapat Rp 4 miliar. Ditukar jadi kebun sawit 30 hektar, rumah dan tanah kosong menanam sayuran. Kalkulasinya tepat sekali. Laba didapat dari sawit tidak kurang dari Rp 40 juta/bulan.

Masih dapat lagi dari hasil menanam terong, cabe dan sayur lainnya. Pendek kata, tidak lagi sulit hidupnya. Anak – anaknya pada mentas. Tinggal menikmati passive income. Melejit karena kalkulasi logis bisnisnya.

Situasi itulah yang saya paparkan kepada tamu saya, 3 orang dari Bali semalam ke Pangkalan Bun Kalteng. Harga tanah di Bali di kampungnya Rp 3 miliar/are. Setara Rp 30 juta/meter. Jika disewakan 30 tahun biasanya dapat Rp 600 juta/are.

Jika 10 are (1.000 meter) disewakan untuk Villa, selama 30 tahun kepada orang asing dapat Rp 6 miliar, ujarnya. Saya tanggapi, itu bisa dibelikan kebun sawit 60 ha umur 6 tahun. Maka tinggal menikmati ” passive income ” laba Rp 100 juta sd Rp 130 juta/bulan. Konkret. Logis bisnis.

Itulah kalkulasi logis bisnis. Harus dikaji berbasiskan fakta lapangan dan data empirik selama ini. Praktis ilmiah. Persis ilmu ekonometrika. Mencari silmualisi prediksi apa yang akan terjadi dengan dasar analisa ” data valid ” selama ini.

Jika tanpa kajian jeli daya nalar analisis bisa jadi sebab terjebak pada kesulitan di masa depan. Karena dana segar jumlah besar kaget diterima lalu disalahgunakan. Lupa bahwa hidup adalah biaya. Bahwa hidup harus berkarya untuk membiayai hidupnya.

Ilmu hikmah yang terkandung pada kisah di atas. Bahwa karena definisi hidup bahasa leksikalnya ” sebuah biaya ” maka harus berbuat yang bisa menghasilkan untuk membiayai hidupnya. Agar hidup makin hidup dan menghidupkan kehidupan.

Karena hidup tidak hanya hari ini saja dan juga bukan sekedar untuk diri sendiri saja. Maka butuh kalkulasi logisnya. Sikap mental ini sangat dibutuhkan oleh kawula muda yang peduli dengan masa depannya. Anak muda yang punya tanggung jawab makin memberi warna indah di masyarakatnya.

Sekali lagi. Tiada pernah ada kisah menikmati sukses, karena jatuh dari langit begitu saja, tanpa melalui proses. Kita yang mengubah masa depan kita, dengan program nyata hari ini dengan dasar kajian perbandingan kalkulasi logis bisnisnya. Dengan begitu, barulah Tuhan mau berpihak meridhoi.

Salam Mandiri 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *