Batasan antara swasembada pangan dengan ketahanan pangan beda jauh. Keduanya sama pentingnya bagi sebuah bangsa. Pangan soal hidup matinya sebuah bangsa (Bung Karno, 1952). Saat peletakan batu pertama Kampus IPB.
Swasembada pangan, jumlah impor pangan maksimal 10% dari total kebutuhan nasional. Ketahanan pangan, harus memenuhi 4 faktor, bermutu, mudah diakses, selalu ada dan harga terjangkau.
Ketahanan pangan di Asean. Indonesia peringkat ke 4 setelah Singapura, Malaysia dan Vietnam. Ketahanan pangan sangat dipengaruhi nilai pendapatan per kapitanya (daya beli) dan jumlah pengusahanya.
Indonesia pernah swasembada beras 2 kali. Tahun 1984 dan antara tahun 2018 – 2020. Hingga FAO dan IRRI (Lembaga Riset Padi Dunia) memberikan anugerah kepada Indonesia. Artinya bisa, asal mau strategis dan tidak koruptif.
Syarat mutlak agar swasembada pangan sesungguhnya tidaklah sulit. Yaitu jadikan pelakunya petani dan peternak agar dapat laba (untung) sehingga hidupnya bahagia dan makmur sejahtera. Hingga bisa dirasakan. Sekaligus terlihat oleh orang lain. Testimoni.
Di Indonesia, rentan ketahanan pangan dan swasembada pangannya, karena petaninya ” dimiskinkan/dikorbankan ” oleh para politisinya. Indikatornya jelas 49,8% dari semua petani miskin dan rentan miskin (Kemenko PMK). Siapa mau jadi lilin ?
Sebabnya kepemilikan lahan 0,3 ha/KK petani. Ada 16,8 juta KK petani (Sensus Pertanian 2023). Jika ditanam pajale (padi jagung kedelai) maksimal omzet Rp 30 juta. Laba maksimal Rp 12 juta/0,3 ha/KK/tahun atau Rp 1 juta/KK/bulan. Jauh dari sejahtera.
Solusinya harus perluasan sawah. Cetak sawah. Itu logikanya agar indeks sawah petani minimal 2 ha/KK. Vietnam 1,2 ha/KK dengan produktivitasnya 5,9 ton GKP/ha. Kita masih 5,2 GKP/ha (BPS). Kebutuhan sawah baru Indonesia minimal 4 juta hektar.
Selain itu intensifikasi lahan yang ada. Utamanya kebutuhan air. Memang sudah dibuat solusi oleh pemerintah yaitu bendungan 62 lokasi walaupun semuanya belum disambut oleh Pemda setempat dengan pembangunan irigasi teknis. Ini yang lucu. Tidak sinkron.
Tidak kalah pentingnya, hilirisasi benih inovasi dengan provitas tinggi hingga di atas 10 ton GKP/ha. Seperti harapan Rektor IPB Prof. Dr. Arif Satria, S.P., M.Si. Agar kita segera menyalip mantan mahasiswa kita dulu yaitu Vietnam bisa 5,9 ton GKP/ha, kita hanya 5,2 ton GKP/ha.
Terpenting lagi. Kita harus sadar bahwa lahan pertanian teknis kita mengalami degradasi mutu. Indikator utamanya pH cenderung masam di bawah 5 dan kadar C Organik di bawah 2% padahal idealnya 4% dan tahun 1970 di atas 2,5%. Selama ini kita ” mengingkari ” ilmu pengetahuan teknologi.
Ini terjadi karena ugal – ugalan emosi non logis lagi. Pemakaian pupuk kimia non berimbang organik dan hayati. Plus pestisida pembunuh mikroba. Implikasinya harga pokok produksi (HPP) tinggi. Solusinya remediasi lahan pupuk berimbang organik, hayati dan NPK kimia seperlunya.
Jika langkah – langkah tersebut dijalankan. Maka sawah kita bukan lagi 7,1 juta hektar, melainkan jadi 11,1 ha. Jika bendungan langsung disambut Pemda dengan irigasinya maka bisa IP 200. Jika benih hasil riset dan pasca remediasi maka bisa 7 ton GKP/ha.
Kalkulasi logisnya luas sawah 11 juta ha, 2 kali tanam padi dengan provitas 7 ton GKP/ha dan rendemen beras 56% maka setara dapat beras 11 juta ha x 2 panen x 7 ton GKP x 56% rendemen = 43 juta ton beras/tahun. Kita ekspor beras. Petani makmur sejahtera.
Masalahnya ?
Biasanya tidak langsung berbuat di lapangan dengan matang perencanaan. Masih rapat 18 kali. Zoom meeting 7 kali. Studi banding 5 kali. Anggarannya lebih banyak buat rapat di hotel – hotel mewah dari pada buat kesejahteraan petani kita dan swasembada pangan.
Lupa itu dana dari keringat sejagung – jagung rakyat jelata untuk membayar pajak jadi APBN. Ehm !
Salam Mandiri 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630