Tue. Jun 24th, 2025

Lembah Kematian Inovasi (The Valley of Death Innovation) adalah istilah di mana ada gambaran jurang pemisah antara hasil riset (invensi) dengan situasi pasar sesungguhnya di lapangan.

Sehingga invensinya sulit dikomersilkan/dihilirisasikan. Gagal jadi inovasi membumi. Lalu tersimpan di lemari. Penelitiannya tidak berarti, non bermanfaat.

Atau prototipenya sangat bagus tapi begitu diproduksi skala komersial. Kalah telak dengan produk sejenis di pasarnya. Kalah mutu maupun harganya. Pasar tidak merespon, tidak laku.

Contoh.

Setahun silam, saya diminta jadi Dewan Penilai Inovasi dari Kampus ternama. Mobil kendaraan pemetik buah sawit (TBS). Ditanya apakah produk inovasi tersebut layak dipasarkan ke perusahaan dan petani sawit ?

Waktu giliran saya menilai. Sederhana saja pertanyaan saya. Selama ini memanen sawit hingga muat di atas truk anggarannya Rp 150.000/ton TBS. Produktivitas rerata 1,5 ton/orang. Atau dapat gaji Rp 225.000/orang/hari.

Jika mampu mengalahkan manual tersebut. Bisa lebih murah dan cepat secara signifikan, itulah baru bisa dipasarkan. Apalagi jika murah 1 tahun kembali modal (ROI) dari selisihnya jika dibandingkan manual.

Jika syarat itu tidak terpenuhi maka inovasi tersebut tidak bisa bersaing di pasar. Non marketable. Apalagi jika desainnya tidak mampu dengan mobilitas tinggi dalam beragam medan di tengah kebun sawit.

Contoh lain lagi, yang terbanyak adalah hasil inovasinya diproduksi secara massal karena ada donaturnya. Tapi baru seumur jagung berhenti total. Tutup. Mangkrak pabriknya. Karena kalah bersaing di pasar. Tidak laku, tidak diserap pasar.

Persis banyak kisah orang membuat rumah makan atau wartel jaman dulu. Sukanya jadi pengikut pasar. Bukan jadi yang pertama, beda dan solutif sifatnya. Gigit jari. Yang disalahkan karena kurang modal. Juga berbagai alasan klasik non empirik.

Padahal jika disuntik modal besar pun akan dibawa mati di lembah tersebut. Karena fase bangkit dari lembah kematian agar meroket jadi ” market leader ” butuh energi sangat ekstra. Ujungnya, inovasi tidak membumi. Inovasinya tidak on market.

Bagaimana pengalaman saya ?

Ini perlu dan penting disimak oleh kawula muda. Melakukan penelitian (riset) tidak sulit. Karena saya juga pernah jadi Perwira Peneliti di TNI AD dan saya juga meneliti pupuk hayati jadi Organox, Bio Extrim dan Hormax.

Yang paling sulit adalah menentukan objek sasaran penelitian kita. Nantinya harus mudah dipasarkan, karena mutu dan harganya bisa bersaing di pasar. Tentu bisa dilihat dari uji mutu dan uji efektivitasnya. Multi demplot ada banyak testimoninya.

Sesungguhnya, saat jadi peneliti lalu hasil penelitian tidak jadi inovasi, sungguh jadi beban dan malu. Apalagi kalau mati di lembah, hanya tersimpan di lemari. Karena memakai dana pajak rakyat yaitu APBN. Kasihan jika cost and benefitnya tidak tepat.

Sungguh sangat saya syukuri, selama 15 tahun sejak 2009 hingga saat ini 2024. Produk formula saya Organox, Hormax dan Bio Extrim. Tiada hari tanpa ada pesanan. Hingga saya jadikan sumber dana untuk gajian 100 orang lebih karyawan. Rp 640 jutaan/bulan dari formula inovasi saya sendiri.

Hormonal Hormax mengandung Auksin, Giberelin, Sitokinin dan Etilen. Organox kaya C Organik hingga 21% sebagai nyawanya tanah. Bio Extrim mengandung Azospirillum, Azotobacter, Rhizobium, Pseudomonas, Bacillus, Trichoderma dan Aspergillus Niger.

Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *