Proses penyempitan lahan pertanian untuk pangan (sawah) sejak reformasi sangat sulit dikendalikan hingga tercatat di BPS penyusutan 110.000 ha/tahun, terbanyak di Jawa Barat. Fakta ini jadi sebab makin tidak swasembada pangan dan harga pokok produksi (HPP) makin tinggi. Pangan makin tidak kompetitif. Mahal.
1. Industri dan perumahan.
Industri pabrik, perumahan perhotelan dan lainnya jadi kontributor terbesar. Alasan argumentasinya, lahan 5 ha kalau ditanam padi, jagung dan kedelai (pajale). Omzetnya maksimal Rp 100 juta/ha laba sekitar 30% setara Rp 30 juta/ha/tahun. Padahal harganya bisa Rp 3 miliar/ha di pinggiran kota. Praktis kembali modal (ROI) butuh waktu 100 tahun.
Jika jadi industri bisa dapat omzet triliunan per tahun, laba ratusan juta. Sehingga ROI tidak sampai 5 tahun sekalipun harga dinaikkan oleh petani pemiliknya jadi Rp 5 miliar/ha. Selain itu mampu menyerap ratusan hingga ribuan pengangguran. Pajak, pendapatan asli daerah (PAD) dan devisa, jauh di atas pajale. Inilah pendorong utamanya.
2. Bagi warisan.
Karena anak petani banyak tapi kurang lapangan kerja di industri yang bisa menampung anak petani. Terpaksa jadi petani, lalu bagi warisan sawahnya. Yang dulunya 1 ha/KK, karena anaknya 4 orang dapatnya hanya 0,25 ha/KK. Karena ditanam pajale tidak cukup, maka menanam komoditas lain yang omzetnya besar.
Konsekuensi logisnya, padi jagung dan kedelai apalagi tebu (gula) maupun tembakau jumlah impornya makin banyak lagi. Pendapatan petani rendah karena lahan sempit, tidak kunjung sejahtera lalu anak muda enggan jadi petani. Ini terjadi massal nasional. Jadi ancaman bangsa jika tiada negara yang mau ekspor ke Indonesia.
Alternatif solusinya ?
Tahun 2030 jika kita melihat data masa lalu, diprediksi jumlah penduduk minimal 300 juta jiwa. Semua butuh pangan tanpa kecuali. Utamanya beras, kebutuhan beras 117 kg/kapita/tahun. Artinya tahun 2030 butuh beras 300 juta x 117 kg/kapita = 35 juta ton/tahun. Mutlak harus ada dan harga terjangkau.
Padahal hasil panen selama ini 5,2 ton GKG/ha (BPS). Setara dengan 2,56 ton beras/ha. Artinya kebutuhan luas tanam 35 juta ton : 2,56 ton beras/ha = 13,7 juta hektar sawah. Padahal luas sawah hanya 7,1 juta hektar. Jika dipaksakan menanam padi 2 kali setahun maka jagung, kedelai dan palawija makin tidak punya tempat, lalu impor naik lagi.
Hal paling logis, cetak sawah oleh pengembang sawah dan perkebunan profesional. Yang sudah kenyang jatuh bangun di lapangan mempraktikkan ipteksnya. Bukan orang yang hanya hafal teori di kelas saja, tanpa punya banyak pengalaman lapangan, hanya puas dengan uang laba semata. Cari praktisi inovatif yang biasa melakukan.
Lalu sawah – sawah yang sudah jadi tersebut dijual ke petani dengan kredit bunga lunak. Diangsur dari laba usahanya. Selama ini ” belum ” pernah sama sekali dipraktikkan. Selain plasma petani sawit yang sudah skala jutaan hektar. Lokasinya banyak masih jutaan hektar lahan gundul pasca pembalakan liar.
Dengan begitu petani punya sawah minimal 3 ha/KK, hidupnya sejahtera. Pangan bisa swasembada dan kompetitif karena luas maka jadi efisien, HPP rendah harga pangan murah. Itu bisa terwujud jika APBN ke pedesaan dan pertanian minimal 10% dari totalnya, setara Rp 320 triliun/tahun. Selama ini hanya Rp 123 triliun/tahun. Dengan begitu sapi, gula dan lainnya mudah swasembada juga.
Salam Bangkit 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630