Tue. Jun 24th, 2025

Presiden Jokowi beberapa waktu lalu acara Rapimnas di Sentul menyampaikan bahwa di Indonesia tingginya stunting (gagal tumbuh, kerdil, akibat malnutrisi) 23% pada fase masih dalam kandungan (janin) dan saat balita 37% karena kurang protein hewani.

Prevalensi stunting Indonesia tahun 2013 sebanyak 37% dan saat ini data tahun 2022 masih 24,4%. Target Presiden Jokowi tahun 2024 hanya 14%. Tingkat dunia stunting di Indonesia terbanyak ke – 5 dan se – Asean peringkat 2. Hanya di atas Timor Leste saja.

Data di atas, linier dengan kebutuhan daging kerbau, sapi dan susu. Semua dominan impor. Volume impor susu 78% dari total kebutuhan nasional. Volume impor daging sapi, kerbau dan sapi hidup juga makin banyak pada 12 tahun terakhir ini.

Tahun 2022 impor daging kerbau, sapi dan sapi hidup. Jika dianggap karkas bobot sapi 350 kg/ekor sebanyak 1,5 juta ekor. Tahun 2023 ini diprediksi akan naik jadi minimal 1,8 juta ekor sapi. Dampak dari korban PMK . Selain tambahnya pasar jumlah penduduk.

Mahalnya harga karena pasar tidak imbang. Pertumbuhan jumlah permintaan pasar daging 6,4%/tahun. Tapi pertumbuhan jumlah produksi hanya 1,3%/tahun. Ini yang membentuk volume impor meroket dan harga daging di Indonesia tergolong sangat mahal.

Data inilah yang ” harus ditelaah kajian mendalam ” oleh Pemerintah dan DPR RI. Jika mencari solusi tanpa analisa data ini. Maka yang terjadi bukan solusi mengatasi penyebab, melainkan hanya mengatasi gejala saja, sementara sifatnya. Makin bermasalah.

Indonesia gudangnya pakan sapi kerbau kelas dunia. Limbah sawit, bungkilnya saja minimal 7 juta ton/tahun karena rendemennya 3% dari total TBS 240 juta ton/tahun. Mutu sesuai SNI kadar protein kasar 21%. Hingga jutaan ton/tahun diekspor. Walaupun setelah jadi sapi dan susu kita impor lagi.

Harga pokok produksi (HPP) memelihara sapi di Indonesia rendah. Karena banyak limbah singkong, sawit dan lainnya. Lahan luas. Penyebab utama harga daging Indonesia mahal, harga di Australia difiksasi sudah mahal. Ada wacana dalam waktu dekat impor dari Brazil. Tapi tidak mudah.

Langkah strategis bijak, harus impor indukan yang akan melahirkan anak pedet jantan saja setara jumlah impornya selama ini dan 5 tahun ke depan. Ini kuncinya. Jika bukan langkah ini hanya akan sia – sia saja. Hanya membesarkan laba dan aset para importir daging dan sapi. Terkecuali kalau memang maunya Indonesia negara non berdaulat pangan.

Solusinya jumlah impor selama ini x 2,5 = jumlah kebutuhan indukan sapi asal impor. Konkretnya jika tahun 2024 jumlah impor 2 juta ekor, maka harus diatasi sebabnya impor betina 2 x 2,5 = 5 juta ekor indukan. Agar anaknya dari 5 juta ekor ada 4 juta ekor per tahun jantan betina.

Logikanya anak jantan saja 2 juta ekor (50% populasi anak pedet). Nah, inilah yang akan dipotong 3 tahun berikutnya menyetop total impor. Agar harga daging sumber protein hewani menekan prevalensi stunting, bisa dikendalikan. Keberadaan daging juga berlimpah.

Apalagi jika bungkil sawit distop ekspornya akan berdampak pakan sapi murah, HPP rendah. Bisa menjual sapi murah juga. Stunting teratasi dengan cepat. Indonesia akan hebat karena manusianya. Karena hanya bangsa yang mampu membangun SDM yang akan maju. Salah besar jika hanya membangun SDA saja.

Sebaliknya. Jika stunting tinggi, maka presentase orang Indonesia ke depan yang kerdil, sakit – sakitan dan diajak diskusi tidak nyambung akan banyak. Ini jadi beban negara ke depannya. Tidak produktif. Indonesia kurang kompetitif. Harus diwaspadai dan diantisipasi cepat.

Indonesia milik kita, maka kita yang bertanggung jawab menyiapkan generasi penerusnya yang hebat. Generasi yang gagal adalah generasi yang gagal menyiapkan generasi penerusnya.

Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580830

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *