Tahun 2018 Menteri Pertanian menargetkan tahun 2023 akan swasembada daging sapi. Faktanya justru makin banyak jumlah impor sapi dan daging. Hingga setara 1,5 juta ekor sapi jika indeks 400 kg/sapi hidup. Lalu target itu diundur lagi jadi tahun 2026 swasembada sapi. Jujur, saya pesimis. Masih belum logis.
Karena pertumbuhan permintaan 6,4%/tahun, padahal pertumbuhan daya pasok produksi di dalam negeri 1,3% saja/tahunnya. Ketergantungan impor sapi jumlahnya makin tinggi jadi sebab harga daging sapi makin mahal. Beban berat masyarakat Indonesia. Karena membuat target swasembada daging tanpa kajian realitanya. Tanpa strategi taktis logis menempuhnya.
Padahal Presiden Jokowi mengatakan bahwa 37% penyebab stunting kerdil kurang gizi pada balita karena kekurangan asupan protein hewani. Salah satunya dari sapi. Padahal prevalensi stunting di Indonesia terbanyak ke – 2 di Asean dan terbanyak ke – 5 di Dunia. Walaupun ada perbaikan signifikan, tahun 2014 prevalensi stunting masih 37%.
Ini masalah daya saing SDM Indonesia di masa depan. Artinya prevalensi stunting saat ini 24,4% pada 22 tahun lagi yaitu 2045 katanya Indonesia Emas. Dari 100 pemuda ada 24 orang kerdil, kurang cerdas dan kurang produktif. Karena saat ini kekurangan asupan protein hewani, salah satunya dari sapi.
Itulah yang melatar belakangi saya ternak sapi dan kambing. Sumber protein hewani yang utama, karena 85% masyarakat Indonesia beragama Islam. Yang pekat nuansanya terhadap kebutuhan rutin berkala terhadap sapi, domba dan kambing. Peluang emas ini saya jadikan pertimbangan.
Misal untuk berbagai kegiatan keagamaan Islam. Konkretnya saat Idul Fitri dan Idul Adha kebutuhannya sangat besar. Inilah momentum emasnya. Saat itu harga sapi, domba dan kambing selalu naik tinggi dibandingkan tahun – tahun sebelumnya. Bahkan juga naik tinggi harganya dibandingkan hari – hari biasanya.
Konkretnya, tahun 2018 saat saya masih pertama kali ternak sapi hanya 3 ekor. Harga sapi hidup hanya Rp 40.000/kg. Saat ini pada sapi yang sama kelamin dan bobotnya, harganya naik 50% nya jadi Rp 60.000/kg timbang hidup. Apalagi kenaikan harga domba dan kambing makin ekstrim lagi. Ini beban berat masyarakat kita.
Artinya potensi pasar sapi, domba dan kambing makin menggiurkan karena makin banyak kebutuhannya paralel dengan makin tinggi harganya. Sangat jarang ada peluang usaha yang sekaligus permintaannya makin besar secara bersamaan harganya makin mahal. Sungguh sangat menarik. Tidak lazim.
Umumnya permintaan besar, maka harga turun karena banyak pemasoknya akibat banyak pelaku usaha yang latah. Ini beda. Karena jumlah populasi dan bobotnya tidak mudah diperbanyak. Proses alami sangat sulit diintervensi dengan inovasi. Misal agar sapi anaknya kembar atau agar domba kambing anaknya 5 ekor.
Lalu apa tugas peternak agar jadi penikmat peluang emas ini ?
- Perbanyakan anakan sebanyak mungkin dengan biaya semurah mungkin. Agar harga pokok produksi (HPP) tiap ekor pedet anak sapi dan cempe anak domba kambing makin rendah. Menekan HPP sama artinya mendongkrak laba yang akan didapat, lalu memperbanyak modal kerja dan nilai investasi produksinya. Terkumulatifkan.
- Memacu percepatan besarnya sapi, domba dan kambing. Dengan biaya semurah mungkin. Percuma saja jika penambahan bobot hidupnya tinggi, jika biaya yang timbul mahal. Ujungnya yang didapat hanya nama saja. Karena bisa remis atau merugi. Kisah inilah jadi penyebab usaha penggemukan sapi banyak yang tutup. Karena ilusi, jadi merugi. Lalu bangkrut.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani.
HP 081586580630