Dalam 2 bulan ini, sering kali saya diajak diskusi oleh para pakar/ahli/peneliti. Yang intinya agar hasil riset/penelitian (invensi) nya mudah dikomersilkan/dihilirisasikan agar jadi inovasi. Sehingga bermanfaat nyata, tidak berujung di lemari.
Sangat logis, karena pada hakikatnya tujuan riset adalah menemukan cara baru solusi atau memecahkan masalah yang ada di masyarakat atau tafsir baru dengan cara baru, ilmiah. Atau menemukan fakta baru dengan metode keilmiahan.
Dasar kedua, karena pada hakikatnya, hasil riset hanya dikatakan invensi, bukan inovasi. Jika tanpa bisa dikomersialisasikan di tengah masyarakat (pasar). Agar melahirkan nilai tambah wujud laba dan manfaat luas.
Umumnya, para peneliti merasa terbebani dan malu. Apabila hasil risetnya hanya tersimpan di lemari. Tidak terkomersialisasi. Apalagi jika sumber dananya bukan milik pribadi. Ada tanggung jawab moral luar biasa beratnya di batin. Pasti. Wajar, peneliti insan terdidik formal tinggi pascasarjana (S3).
Jika basis pola pikir filosofinya seperti di atas. Idealnya sebelum meneliti dicari dulu, intelijen pasar dulu, objek penelitiannya pada pra riset. Agar mudah memasarkan/mengkomersilkan/menghilirisasikan hasil risetnya. Pada pasca riset.
Ibaratnya, jangan sampai gagal membuat rencana sama artinya merencanakan sebuah kegagalan. Ini yang mutlak harus dicegah daripada hasil risetnya tidak marketable dan berujung malu. Bisa jadi bahan pergunjingan teman sejawat di sekitarnya.
Lalu, di mana letak objek penelitian agar jadi inovasi ?
1. Inovasi selalu tersembunyi ” di balik kesulitan ” yang ada di tengah dinamisnya kegiatan masyarakat luas.
2. Inovasi bercirikan hal baru agar pekerjaannya makin mudah dengan cara lebih sederhana dari sebelumnya serta makin murah.
3. Inovasi selalu menjadikan harga pokok produksi (HPP) lebih rendah. Makin menghasilkan banyak, tapi dengan biaya makin murah.
4. Inovasi selalu menambah manfaat lebih luas lagi bagi masyarakat luas, bersifat humanitas dan kesejahteraan umat, makanya selalu idenya datang dari ” Suara Hati Sanubari “.
Contoh.
1. Bagaimana cara metodenya agar HPP TBS sawit dari Rp 2.000/kg jadi Rp 700/kg agar laba tambah dan prosesnya cepat serta bermanfaat bagi orang lain. Misal biaya panen biasa Rp 125/kg berubah jadi Rp 25/kg, ongkos muat biasa Rp 25/kg berubah jadi Rp 3/kg dan ongkos kirim turun jadi 20% nya.
2. Bagaimana cara agar TBS sawit dengan ” mesin inovasi ” sekecil mungkin bisa diurai jadi minyak goreng, bensin, sabun, pakan ternak dan pupuk sehingga nol limbah. Ekonomi sirkular. Misal 1 ton TBS jadi 200 liter minyak goreng, 50 kg sabun, 30 kg pelet pakan ternak dan lainnya hingga nol limbah. Harga jual tetap kompetitif dibanding dari pabrik besar.
Jika ini semua terwujud, kesulitan jadi kemudahan. Produk makin kompetitif, praktisinya makin sejahtera dan alam makin lestari paralel dengan kesejahteraan masyarakat sekitar. Konkretnya tiap desa ada pabrik mini agar swasembada minyak goreng, bensin sawit dan sapi pakan limbahnya.
Maka proses tersebut ” insan peneliti ” namanya harum dikenang sepanjang zaman, karena karyanya bermanfaat luas jangka panjang bagi orang lain. Benar peribahasa harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading dan manusia mati meninggalkan nama baiknya.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630