Stunting, prinsipnya malnutrisi kronis pada balita akibat kurang asupan bergizi. Akibatnya cenderung kerdil, retardasi mental kurang cerdas dan rendah produktivitasnya lalu hidupnya tidak kompetitif.
Semua negara pasti meminimalkan angka stuntingnya. Karena akan jadi ancaman bangsanya di masa depan. Ini indikator utama pertama pembangunan manusia sebuah bangsa.
Konkretnya, sebuah perusahaan besar jabatan top posisi selalu diisi oleh orang sehat, cerdas dan produktif. Begitu juga organisasi dunia pemimpin pasti yang bukan bekas stunting.
Apalagi pemilik perusahaan tersebut yang biasa disebut sebagai pengusaha, juga bukanlah korban stunting. Karena dibutuhkan stamina sehat, kaya intuisi, cepat daya nalar analisis dan mumpuni leadership nya.
Sayangnya data saat ini balita Indonesia 24,4% kena stunting. Artinya 22 tahun lagi saat 100 tahun Indonesia Merdeka, Indonesia Emas, 2045. Ada 1 dari 4 orang kerdil, kurang produktif dan tidak kompetitif.
Bahkan jika dibandingkan dengan negara – negara di Asean peringkatnya ke 2 terjelek. Di antara negara sedunia terjelek ke-5. Duuuh, bangsa kita kok begini. Kasihan anak cucu yang kena stunting. Nasibmulah yang kena stunting. Maafkan kami.
Ibarat keluarga, punya harta banyak diwariskan ke anak – anaknya. Tapi sebagian ada yang tidak sehat, kurang cerdas dan kurang kompetitif. Akibat kita sebagai orang tuanya tidak menyiapkan, kurang antisipasinya.
Yang membuat ngenes, bukan karena Indonesia miskin alam untuk menyiapkan generasi penerusnya. Tapi banyak sebab, di antaranya karena salah kelola. Atau non efektif mengelola APBN nya.
Konkretnya, karena iklim usaha sektor pangan tidak baik. Dampaknya peminat usaha di bidang pangan turun drastis. Harga pangan mahal akibat harga pokok produksi (HPP) tinggi.
Penjabarannya, pola didik hafalan teoritis bagai sastra pertanian non praktis ilpengtek inovasi pertanian. Tiada 1% petani yang sarjana pertanian ini dampaknya. Padahal ini rohnya pangan.
Suku bunga bank 2%/tahun di luar negeri, di Indonesia 12%/tahun itu pun sangat sulit diakses dan memakai kolateral jaminan serta syarat lainnya. Dampaknya sangat besar HPP sangat tinggi.
Misal biaya produksi pangan nasional Rp 1.200 triliun/tahun, beda bebannya 10% setara Rp 120 triliun/tahun. Bank laba besar, rakyat Indonesia utamanya petani bebannya sangat besar.
Pajak ekspor di luar negeri rendah agar produknya bisa bersaing, di kita tinggi lalu kalah bersaing di pasar global. Pajak impor negara lain tinggi, Indonesia rendah lalu menghajar produk petani sendiri.
Infrastruktur jalan. Di luar negeri diperhatikan serius agar ongkos kirim pupuk murah cepat sampai, membawa pulang hasilnya tanpa pakai lama dan mahal. Sehingga pangan kita termahal di Asean.
Irigasi di luar negeri diperhatikan agar bisa 3 kali tanam juga produktif, kita 70% hanya sekali tanam per tahunnya pada sawah tersebut. Bahkan banyak yang mau mengairi sawah harus membayar atau membuat sumur bor.
Solusinya, pemerintah harus konsolidasi tata ulang. Buat renstra baru terukur aplikatif membumi non ilusi teoritis. Bangun SDM inovatif bermental pengusaha dan iklim usahanya jadi perhatian khusus 10% dari APBN. Awali malu dan tahu diri.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630