Semua kepala negara mengingatkan agar warganya waspada tinggi terhadap ancaman serius resesi yang saat ini telah menelan korban. Resesi kali ini terjadi akibat pangan dan energi makin mahal tidak masuk akal. Lalu inflasi naik tajam.
Contoh.
Sebuah rumah tangga punya pendapatan Rp 4 juta/bulan. Biasanya cukup untuk 5 orang anggota keluarga. Berubah tidak cukup akibat harga gula impor naik 30%, gandum naik 80%, daging sapi impor naik 70%, kedelai impor naik 70% dan lainnya. Inflasi naik lalu jadi resesi secara massal.
Padahal resesi juga bisa bukan hanya karena mahalnya biaya hidup. Tapi karena ” daya beli ” jatuh rendah dan tiada pendapatan akibat kebijakan salah. Jadi sebab rakyat jadi melarat massal dadakan. Kalau sudah itu, maka semurah berapapun harganya, tetap jadi sebab resesi.
Contoh.
Keluarga petani sawit punya 4 ha, anggota keluarga 5 orang. Dulu 6 bulan lalu cukup karena pendapatannya 4 ha x 2 ton/ha x Rp 3.800/kg = Rp 30,4 juta/KK/bulan. Tapi saat ini tinggal 4 ha x 2 ton/ha x Rp 800/kg = Rp 6,4 juta/KK/bulan. Habis untuk biaya panen dan ongkos kirim ke pabrik. Rugi banyak. Stres berat anaknya terancam putus sekolah. Jadi resesi tingkat keluarga.
Keluarga kerja di industri sawit pabrik kelapa sawit (PKS) atau di kebun. Dapat gaji Rp 5 juta/KK/bulan. Cukup untuk biaya hidup. Karena perusahaan merugi berbulan – bulan lalu di PHK. Tanpa pendapatan. Jadilah resesi keluarga, diperparah saat pangan dan BBM mahal. Apalagi ada kredit rumah dan sepeda motor.
Contoh skala negara, Malaysia. Sadar sawit komoditas strategi nasional cetak devisa. Devisa untuk impor pangan, energi dan teknologi tinggi untuk investasi produktif. Apapun dilakukan agar daya beli tinggi, pendapatan per kapita naik saat ini 3x lipatnya Indonesia. Impor tenaga dari 15 negara. Pajak ekspor diminimalkan, volume ekspor dimaksimalkan. Cegah resesi juga.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630
