Sat. Jun 28th, 2025

Judul di atas bahasa Jawa, arti gramatikalnya sudah dilebihkan dari apa yang diminta. Tapi tidak merasa, tidak disyukuri. Isinya cuma mengeluh menyalahkan orang lain, keadaan dan menganggap Tuhan tidak adil.

Penjabaran di lapangan sangat luas. Begitu juga contoh nyata dalam kehidupan sehari – hari di tengah masyarakat, juga sangat banyak. Karna kalimat singkat sederhana tersebut sesungguhnya falsafah Jawa.

Bahasa sindiran untuk menegur bagi orang dewasa. Bukan orang tua yang belum dewasa. Karena sesungguhnya halus, jika diterjemahkan dengan logika dan perasaan sangat dalam. Lebih sakit dibanding tamparan.

Menegur dengan etika kepada seseorang yang tidak beretika. Menegur seseorang dengan logika dengan cara logika juga. Kalkulasi logis. Biasanya dipakai untuk orang tua dewasa, pimpinan, atau yang dituakan oleh sekitarnya.

Contoh konkret ;

Saat saya membeli tanah kaplingan yang rencana awal mau dibangun rumah. Untuk istirahat karena lokasi dan lingkungannya sangat tepat buat misi target tersebut. Kebetulan dapat harga murah, karena seseorang butuh dana segar cepat.

Tapi selisih seminggu berikutnya. Adiknya yang menjual tanah kapling tersebut maunya menebus lagi. Tentu dengan harga lumayan tinggi. Jika saya mau dibeli kembali, saya dapat laba di atas Rp 1,2 milliar, seminggu saja.

Lumayan banyak bagi saya 11 tahun silam. Lalu saya diskusikan ke Orang Tua. Jawabannya sederhana ” Wis diujo, ora rumongso “. Dalam hati saya, makjleb ! Tertunduk spontan. Walaupun yang menasihati saya hanya lulusan SD.

Sama halnya, saat saya ekspansi kebun buah naga. Sekaligus kebun jeruk madu chokun. Kebetulan di tengah ada lahan milik orang lain. Saya mohon – mohon sampai tiga kali mau dibeli atau direlokasi. Tetap kekeh tidak boleh dibeli.

Padahal harga saya tambah atau dinaikkan tidak lazim. Lalu mengajak Orang Tua nego sekali lagi. Jawabannya sama ” Wis diujo, ora rumongso “. Artinya jangan lagi toh hanya 2 hektar saja. Punya kita jauh lebih luas.

Ditambahi lagi, jika hidupmu seperti itu. Pulau Kalimantan sudah milikmupun, akan masih terasa kurang. Apapun alasannya. Kadang karena itu kita bisa belajar lebih sabar, tahu diri dan ikhlas. Agar bisa menahan diri.

Begitu juga saat saya debat di TV One, Metro TV dan lainnya. Berjuang saat harga sawit anjlok akibat tidak boleh ekspor. Bukannya dapat pujian, justru sebaliknya. ” Wis diujo, ora rumongso “. Tidak disadari selama ini rejekinya.

Bisa makan cukup, hidup layak lazimnya orang lain dan anak – anak sekolah tinggi, hingga pada pascasarjana, juga karena dari hasil sawit. Sama persis saat padi di Jonggol Bogor, kena serangan wereng sedikit saja. Karena keluh kesah jawabannya juga sama.

Bagaimana contoh nyata di tengah masyarakat ?

Ini sangat banyak. Bahkan sangat ekstrem. Tidak logis. Merusak dan menyakiti hati orang banyak, utamanya rakyat jelata. Karena selalu dan selalu dipertontonkan tingkah polah oknum pimpinan kita yang nakal. ” Wis diujo, ora rumongso “.

Dulu merindukan ingin jadi pejabat, dengan berbagai macam cara. Termasuk sumpah janji atas nama Tuhan, untuk amanah membawa kebaikan bangsa kita. Tapi setelah jadi pejabat, jauh di atas targetnya. Ternyata ” Wis diujo, ora rumongso ” juga.

Setingkat Anggota DPR RI, Menteri, Dirjen/Deputi/Eselon 1 dan 2 Kementerian. Kepala Daerah dan Direktur perusahaan milik BUMN, miliknya rakyat. Kok ya mau – maunya masih doyan uang haram. Korupsi dan kolusi. Sadis sekali.

Itu sungguh contoh konkret arti ” Wis diujo, ora rumongso “. Lengkapnya dalam bahasa Jawa ” Wis diujo, ora rumongso. Sejatine yen ketrimo wis kamulyo /Sudah dilebihkan tidak merasa, sesungguhnya jika diterima dengan syukur sudah dimuliakan Nya “.

Pandangan saya, dari pada seperti itu. Rakus serakah makan harta haram hak orang banyak. Sama persis makan barang haram. Misal makan bangkai, daging babi dan lainnya. Lebih terhormat jadi petani atau angon sapi saja.

Saatnya mengawali bisa jadi gembala dirinya sendiri, sebelum menggembalakan orang banyak. Kami rakyat jelata, sudah sangat lelah menonton perilaku tidak humanis di media massa justru oleh oknum pemimpinnya.

Kami butuh suri tauladan tahu diri dan berbenah diri diawali dari diri sendiri sedini mungkin. Kuncinya ” Wis diujo, kudu rumongso/Sudah dilebihkan mesti merasa dan bersyukur atas kemurahan Nya ‘. Itu benih akan tumbuh besar jadi sumber kebahagiaan. (Guru Malamku).

Salam Mawas Diri 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *