Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian Nasional bahwa 3 bulan mendatang beras kita sangat riskan. Rentan kelaparan.
Juga disampaikan saat ini ada 59 negara terancam kelaparan dan sudah ada 10 negara sedang dilanda kelaparan. Ditambah lagi bahwa tahun 2050 akan terjadi kelaparan berat. Mengajak semua pihak melibatkan diri.
Begitu juga jika kita melihat data impor beras tahun 2024, kuotanya 5 juta ton. Artinya jika tidak ada negara yang mau mengekspor beras ke Indonesia, maka jadi masalah serius. Bisa lompat ke politik.
Karena 5 juta ton beras setara dengan kebutuhan pangan 43.000 jiwa selama setahun dengan indeks asupan beras kita 116 kg/kapita/tahun. Setara kebutuhan 500.000 jiwa dalam sebulan.
Artinya jika kurang 5 juta ton beras. Atau tidak bisa impor beras 5 juta ton akan terjadi kelaparan fatal selama 1 bulan untuk warga sebanyak 500.000 jiwa. Ngeri, jika gagal antisipasi. Kita bisa membayangkan.
Jika yang kita impor tidak sebanyak 5 juta ton tahun 2024 ini. Misal hanya 3 juta ton saja. Maka beras akan jadi rebutan masyarakat. Permintaan terlalu banyak dibanding pasokan, maka harga beras mahal.
Harga beras bisa 2 kali lipatnya, misal Rp 30.000/kg. Biaya hidup masyarakat naik, biasanya gaji cukup. Lalu tidak cukup padahal jumlah sama. Seperti gula saat pandemi covid Rp 25.000/kg, biasanya Rp 11.000/kg.
Jika harga beras naik tajam, karena gagal impor. Maka biaya hidup naik tajam. Gaji tidak cukup. Inflasi naik. Kemiskinan tambah. Stunting kerdil retardasi kecerdasan tambah lagi. Putra bangsa tidak kompetitif.
Kita impor pangan hingga di atas Rp 330 triliun/tahun. Khusus beras saja 5 juta ton setara Rp 50 triliun jumlah impor 2024. Hanya akibat saja. Ekonometrika pangan, tanpa prediksi dan antisipasi di masa lalu.
Beras 5 juta ton yang kita impor. Setara hasil panen dari luas tanam padi 2 juta hektar. Karena tiap hektar menghasilkan beras 2,56 ton/musim. Artinya memang karena kurang luas tanam padi 2 juta hektar. Apapun alasannya.
Mau El Nino, kurang irigasi lalu disumbang pompa air, kurang jumlah petani menyusut dari 31 juta jiwa jadi tinggal 29 juta jiwa. Petani muda hanya 1,24%. Luas sawah menyempit dan penduduk tambah jadi 281 juta jiwa.
Itu akibat saja. Gagal Manajemen PPIC (Production Planning and Inventory Control). Itu semua gagal menjaga ” Neraca Beras “. Gagal Manajemen Ekonometrika Pangan. Juga karena gagal Arsitektur Pertanian kita.
Akibat sarjana pertanian tiada di lahan pertanian. Adanya di kantor ber-AC. Misal di bank, asuransi dan lainnya. Karena produsen pangan dominan bukan orang yang ahli di bidang pertanian. Maklum pada usia tua lulusan SD dan SMP. Minim iptek.
Solusinya. Cetak petani muda inovatif secepatnya. Cetak sawah 5 juta hektar secepatnya. Agar mereka mau jadi petani dan pengusaha mau mencetak sawah. Rangsang keuntungan yang pantas. Lalu hidupnya makmur sejahtera.
Konkretnya, kenapa saya dulu mau sewa lalu cetak sawah 21 hektar, tanam padi 21 hektar di Bogor. Itu saya stop. Lalu pindah ke sawit dan sapi ? Karena sawit labanya 150%, padi hanya 30% lagi pula rentan politik. Terlalu sibuk.
Saya mau hidup aman nyaman demi keluarga dan bangsa. Dapat rezeki halal. Utamanya bermanfaat bagi masyarakat luas. Daging sapi dan ikan patin program menekan stunting. Cipta lapangan kerja dan implikasi lainnya. Itu ilmu hikmahnya.
Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630