Sun. Oct 20th, 2024

WAJIB CETAK SAWAH

ByWayan Supadno

Oct 17, 2024

Pangan kita makin banyak impor utamanya beras, mirisnya justru saat di banyak negara lagi waspada tinggi, untuk tidak ekspor pangan. Sebagai langkah antisipasi gejolak geopolitik yang menghendaki stok pangan di negaranya sendiri wajib aman.

Di Indonesia sejak era reformasi 1998 tanpa pernah ekspansi cetak sawah. Berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang konsisten tambah terus. Bahkan luas sawah makin menyempit dari 10,6 juta hektar tinggal 7,1 juta hektar saat ini (BPS).

Jumlah penduduk akan terus bertambah hingga tahun 2030 diprediksi 310 juta jiwa. Semua butuh pangan, beras kebutuhan mutlak. Jika 1 minggu tanpa ada beras jadi masalah nasional. Pangan soal hidup matinya sebuah bangsa (Bung Karno, 1952).

Ekonometrika beras, ilmu yang memanfaatkan statistika data empirik beras selama ini ditabulasi, dianalisa dan disimpulkan untuk kepentingan ekonomi perberasan. Agar tahu gejalanya. Sehingga bisa diprediksi dan diantisipasi sedini mungkin dengan cermat.

Data BPS menunjukkan bahwa hasil beras selama ini 2,56 ton/ha/musim. Kebutuhan beras selama ini 116 kg/kapita. Artinya kebutuhan beras di tahun 2030 sebanyak 310 juta x 116 kg = 35,96 juta ton/tahun. Dibulatkan 36 juta ton beras butuhnya tahun 2030.

Kebutuhan luas tanam padi tahun 2030 sebanyak 36 juta ton beras : 2,56 ton = 14,06 juta hektar/tahun. Padahal luas sawah kita hanya 7,1 juta hektar. Hanya setara dengan 50% dari total rasionya saat tahun 2030. Ini harus diantisipasi. Solusinya ekspansi cetak sawah. Titik.

Problematika cetak sawah.

Selama ini kita terlena hanya muter – muter berjubel di Jawa saja yang makin sempit karena alih fungsi yang tidak bisa dihindari. Karena penambahan jumlah penduduk 100 juta jiwa selama 27 tahun, konsekuensi logis butuh perumahan, pabrik dan infrastruktur. Ini sangat logis sekali.

Rasionya tiap 25 jiwa penambahan jumlah penduduk mengorbankan sawah 1 hektar alih fungsi jadi perumahan dan pabrik tempat kerjanya. Artinya selama 27 tahun ini alih fungsi sawah 3 juta hektar hal wajar saja. Karena tambah penduduk 100 juta jiwa, mengorbankan 2,5 juta hektar sawah.

Problematika utama adalah bisa dihitung jari orang yang profesinya seperti saya sebagai ” Developer Cetak Sawah/Kebun “. Saya sangat kesulitan mencari teman yang biasa cetak sawah dan kebun seperti saya skala ribuan hektar/tahun. Ini kelalaian Perguruan Tinggi tanpa regenerasi pencetak sawah.

Apalagi selama ini yang saya berdayakan lahan gundul terlantar puluhan tahun tanpa produktif, masyarakat sekitar kurang sejahtera karena tiada lapangan kerja. Lokasi tersebut rutin berkala kebakaran. Pelanggan setia kebakaran. Karena hanya ditumbuhi semak belukar dan ilalang.

Solusinya cetak sawah.

Pemerintah harus membuat stimulus kepada para ” Developer Cetak Sawah ” secara terbuka. Misal infrastruktur, kilang padi, sarana prasarana. Sekaligus skim perbankan agar hasil cetak sawah bisa dijual lagi ke petani muda milenial dengan pola perbankan diangsur dari hasil panennya.

Konkretnya jika 1 hamparan 100.000 hektar ada sawah baru. Ada jalan dan irigasi maupun kilang padi. Dijual Rp 75 juta/ha diangsur ke bank lewat KUR dari hasil panennya. Diperuntukkan kepada anak muda 10 hektar/orang. Ini akan jadi sumber moril tinggi karena akan dapat materiil tinggi.

Dengan begitu maka para pengembang/developer pencetak sawah seperti saya akan semangat berkarya cetak sawah dan anak muda akan semangat berkarya tanam padi skala luas. Dana APBN bisa dihemat. Dana perbankan bisa terpakai skim KUR jumlah triliunan/tahunan.

Otomatis ekonomi akan tumbuh tersebar merata di luar jawa. Begitu juga kepadatan penduduk dan sentra penghasil padi. Kalimantan misalnya, tanpa harus dominan impor beras dari luar Kalimantan. Bisa swasembada beras. Lahan terlantar gundul pasca pembalakan jadi hijau produktif. Indonesia berdaulat pangannya.

Salam Mandiri 🇮🇩
Wayan Supadno
Pencetak Sawah
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *