Wayan Supadno
Artikel ini saya tulis di atas pesawat perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta ke Bandara Iskandar Pangkalan Bun Kalteng. Untuk anak muda, utamanya. Sudah sekitar 3,5 bulan saya tidak ke Pangkalan Bun untuk kontrol pekerjaan di usaha saya bidang sawit, buah tropis, sapi dan ikan patin.
Selama ini saya percayakan ke manajemen pengelola usaha, termasuk ke 3 anak saya ikut serta agar ada proses belajar mengatasi segala masalah di lapangan. Sehingga iptek yang didapat di bangku studi hingga pasca sarjana S2 bisa dipraktikkan langsung. Makin banyak pengalaman maka makin banyak ilmu didapat.
Tahun 2011, pertama kali saya berkunjung ke Pangkalan Bun. Ingat persis waktu itu jadwal penerbangan hanya 2 kali seminggu Senin dan Kamis saja. Penumpangnya sangat jarang. Tapi sekarang 3 kali tiap hari itupun penuh terus penumpangnya, sejak dulu hingga sekarang 90% penumpangnya pelaku bisnis sawit.
Di Pangkalan Bun, masyarakatnya sangat welcome, ramah dan tiada maling. Selama 14 tahun belum pernah kecurian, sekalipun ratusan ekor sapi dan kendaraan di tengah kebun sawit saya. Yang hanya 15 menit dari Bandara Iskandar. Itulah sebab utama kenapa saya sangat suka investasi dan ekspansi di Pangkalan Bun Kalteng.
Sawit jadi penentu utama dinamikanya ekonomi di Kalimantan umumnya. Terlihat jelas, saat harga sawit bagus maka daya beli masyarakat tinggi dan dinamis membentuk pertumbuhan ekonomi. Begitu juga sebaliknya. Sawit jadi magnet utama investor ke Kalimantan dan membentuk banyak kawasan jadi maju pesat.
Ini tidak lepas dari dukungan perbankan hingga mengalirkan kredit di atas Rp 371 triliun. Karena sawit marketable, karena sawit bankable dan sangat jarang ada kredit macet karena sawit. Pendek kata jika sawitnya sudah mulai buah dan benihnya inovatif selalu dapat tawaran kredit dari bank agar ekspansi lagi atau untuk keperluan lain.
Petani sawit adalah investor. Luas sawit petani saat ini 6,9 juta hektar milik 1,8 juta kepala keluarga, jika indeks Rp 150 juta/ha termasuk rumah kebun dan lainnya, berapa ribu triliun itu. Omzetnya 2 ton/ha/bulan x Rp 3.000/kg dan laba Rp 1.500/kg x 2 ton/ha/bulan akan nampak triliunan juga, pada luas 6,9 juta hektar. Itulah sebab petani sawit mandiri.
Kebun sawit umur 3 tahun ke atas mampu menyerap karbon dioksida (CO2) sebanyak 30 – 50 ton/hektar/tahun. Meningkat jauh dibandingkan saat belum ditanam sawit masih semak belukar karena bekas pembalakan liar sebelumnya, selama puluhan tahun lamanya, non produktif.
Jika sawit integrasi dengan sapi seperti milik saya maka akan terjadi proses ekonomi sirkular nol limbah. Limbah sawit jadi pakan sapi dan limbah sapi jadi pupuk sawit. Harga pokok produksi (HPP) sapi rendah, bisa jadi andalan swasembada sapi domba kambing menekan prevalensi stunting, biaya murah.
Valuasi bisnis sawit hilir. Umumnya anggaran Rp 25 juta/ha/tahun menghasilkan 25 ton TBS/ha/tahun dengan rendemen 25%. Maka HPP Rp 4.000/kg CPO, dijual Rp 15.000/kg. Dijadikan minyak goreng rendemen 70% ditempel merek dagang laku Rp 23.000/kg, 30% sisanya jadi sabun, margarin dan lainnya.
Itulah sebabnya investor pabrik kelapa sawit (PKS) berebut lokasi. Hingga sengketa antara PKS non kebun 100% komersil dengan PKS integrasi dengan kebun konvensional. Karena labanya terlalu banyak. Itu pula sebab negara harus hadir lalu Presiden Prabowo mengintruksikan agar ditertibkan.
Sekali lagi, bahwa petani sawit adalah investor terkolektif. Ribuan triliun dana 1,8 juta kepala keluarga petani sawit investasinya. Sebelum tahun 2014 tiada yang tahu mana lahan kawasan kehutanan atau bukan. Karena sama semak belukar sisa pembalakan legal HPH maupun ilegal. Ini sangat penting dipahami oleh negara dan banyak pihak.
Banyak kebun sawit dan rumah permanen. Didapat dari transmigrasi, beli ke masyarakat setempat dan warisan leluhurnya sebelum Indonesia merdeka. Motivasi petani investasi sawit untuk hidup berkecukupan sejahtera agar tidak jadi beban negara. Sehingga dalam proses penertiban sawit butuh sikap bijak di lapangan.
Agar yang non HGU luas diprediksi 4 jutaan hektar diambil negara, dibagi ke rakyat jadi sasaran penempatan transmigrasi demi pemerataan dan keadilan. Agar koperasi hidup, pabrik sawit harus berbagi saham dengan koperasi petani pemilik bahan bakunya pabrik. Sesuai amanah sila ke 5 Pancasila dan UUD 45.
Bungkil sawit 7 juta ton/tahun, selama ini dominan diekspor. Agar distop jadi pakan ternak agar swasembada daging. Nolkan prevalensi stunting. Peternak sejahtera, lalu semangat berkiprah. Inilah riil proses hilirisasi. Mendongkrak nilai tambah. Malu ah, ekspor bungkil sawit bahan baku pakan sapi setelah jadi susu dan sapi kok kita impor lagi. Ehm !
Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Anggota Dewan Pakar Sawit
HP 081586580630