Kali ini saya mencoba melihat fenomena hal ekspor impor dari sudut pandang yang berbeda. Fokusnya pada nilai – nilai manfaat dari impor, untungnya ada importir. Sekalipun kesannya lucu, tapi ini penuh ilmu hikmah bahan pembelajaran hal kehidupan dunia nyata.
Sesungguhnya, ekspor impor adalah hal biasa saja. Hanya perdagangan antar bangsa saja. Memang sebaiknya surplus dan tiada impor barang yang bisa kita produksi sendiri. Hampir tiada di dunia ini sebuah negara tanpa ekspor impor.
Sering kali kita hanya melihat satu sudut pandang saja, bahkan hanya dengan subyektif. Apalagi di tahun politik yang persaingannya teramat sengit. Saling menyalahkan dan menghujat, hingga tiada waktu untuk bersyukur.
Apalagi soal impor pangan yang tembus Rp 330 triliun/tahun. Beras hingga 3,2 juta ton. Heboh. Hingga lupa kita juga sebagai eksportir minyak sawit, manggis, nanas, pisang, mangga, salak, kelapa dan lainnya. Mendunia. Ini seolah kita pungkiri, padahal ini karena kerja keras kita.
Berikut ini beberapa pertanyaan buat diri kita sebagai anak bangsa Indonesia, guna mereduksi egois kita dan merileksasi saraf kita sendiri. Bahan diskusi dengan hati sendiri dan terpenting jadi bekal tahu diri agar pandai jadi umat suka bersyukur kepada Nya. Agar makin ditambah nikmat Nya.
Sawit, yang kita ekspor wujud CPO hanya 7% saja. Sisanya produk turunan, berkat hilirisasi inovasi. Nilai devisanya minimal Rp 635 triliun/tahun. Terwujud berkat kerja keras masyarakat sawit jutaan keluarga. Sawit Indonesia tersebar di 187 negara. Hebatnya lagi makin besar serapan dalam negeri untuk B35 hingga 13,32 juta ton CPO/tahun, total pasar domestik 25,3 juta ton/tahun. Luar biasa.
Buah tropis, wujud siap hidang segar maupun produk turunan. Nilainya juga puluhan triliun/tahun. Ini juga berkat kerja keras di antara anak bangsa selama ini. Hingga nanas dikalengkan kedap udara, di dunia terkenal dari Indonesia, sama persis abon nangka muda menyerang pangsa pasar daging. Buah naga, sama juga jadi powder makin mendunia.
Sebaliknya, banyak barang impor yang kita olah dengan industri nuansa inovasi lalu kita pasarkan kembali. Konkretnya, di Timur Tengah, Australia, Selandia Baru dan lainnya. Mie instan terpopuler dari Indonesia. Padahal bahan bakunya gandum dari impor. Itu berkat kerja keras ahli teknologi pangan dan ribuan anak Indonesia.
Begitu juga gula yang kita impor 5,3 juta ton/tahun. Sebagian dijadikan bahan baku industri pangan. Setelah jadi barang langka bernilai ekonomi tinggi, kembali kita ekspor. Kita dapat nilai tambah besar misal pajak, lapangan kerja, rantai ekonomi lain misal daya beli naik menghidupi usaha lainnya.
Kadang kita lupa, banyak negara kagum ke kita kok begitu inovatifnya. Utamanya penghasil gandum dan gula. Nilai tambah yang mereka dapatkan jauh dibandingkan yang kita dapatkan karena mereka bermain di hulu mengorbankan hutan jutaan hektar.
Yang patut harus kita sadari, itupun masih sempat membuat kampanye hitam hal sawit, kakao dan kopi Indonesia. Masihkah kita mau diadu domba oleh bangsa lain ? Masihkah kita tetap jauh dari rasa syukur ?
Salam 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630