Tue. Jun 24th, 2025

Wayan Supadno

Harga pokok produksi (HPP) merupakan indeks biaya setiap produk atau jasa tertentu. Semua biaya yang dikeluarkan untuk sebuah produk atau jasa. Di antaranya bahan baku, tenaga kerja, pajak dan lainnya.

HPP produk dan jasa di Indonesia tergolong mahal. Itulah sebabnya banyak produk tidak mampu bersaing di pasar global. Termasuk di pasar domestik dibandingkan dengan barang impor sekalipun.

Akhirnya pasar besar justru dinikmati oleh negara lain. Lambat laun akan berdampak pada kedautan dan ketahanan nasional. Bahkan bisa jadi sebab demotivasi atau turunnya semangat nasionalisme rakyat Indonesia.

Penyebab HPP tinggi lalu harga produk atau jasa mahal tidak bersaing, di antaranya ;

1). Etos kerja produktuvitas

Kualitas manusia jadi penentu pertama dan utama. Inilah aset terbesar bagi sebuah bangsa. Tiada makna apapun juga punya SDA berlimpah jika tidak bisa memberdayakan dengan baik dan benar. Bahkan kadang justru jadi ancaman datang dari negara lain.

Kualitas manusia sangat ditentukan oleh ketahanan pangan, daya saing mutu pendidikan dan genetiknya. Konkretnya, korban stunting akibat iptek tidak sampai aplikasi di keluarga, tidak dapat pendidikan yang tepat. Maka lemah produktivitasnya.

Konkretnya. Prevalensi stunting Indonesia masih 21,6% berarti 20 tahun lagi anak remaja dari 100 orang ada 21 orang rendah etos kerjanya. Implikasinya IQ rerata hanya 78,9. Daya saing pendidikan peringkat 57. Kombinasi ketiganya rendah daya saingnya. Harus diminimalkan.

2). Inovasi belum membumi.

Indikator kinerja perguruan tinggi sebagai pusat penelitian dan kumpulnya banyak pakar. Tercermin pada indeks inovasi global, indeks kompleksitas ekonomi dan peringkat di global. Selain itu seberapa banyak invensi terkomersilkan jadi inovasi.

Data fakta indeks inovasi global hanya peringkat ke 56, indeks kompleksitas ekonomi peringkat 87 dan kampus Indonesia ada 4.000 an, tapi yang masuk 500 terbaik di dunia hanya 4 kampus. Hasil penelitian maksimal 10% yang jadi inovasi on market.

Konkret implikasinya. Harga cabe dari India hanya Rp 8.000/kg sampai Surabaya, HPP Cabe di Indonesia Rp 12.000/kg, nilai jual minimal Rp 25.000/kg. Kunyit, singkong dan lainnya jauh lebih murah impor dari Vietnam. Karena HPP di India dan Vietnam lebih murah lalu bisa jual murah.

Kalkulasi logisnya. Untuk 1 bahu 7.100 meter cabe butuh biaya minimal Rp 120 juta agar bisa dapat 10 ton. Di India modal sama bisa 15 ton. Karena inovatif. Begitu juga komoditas lainnya. Apalagi di RRC makin parah lagi jeruk bisa jual murah sampai Indonesia karena biaya murah, hasil banyak.

3). Bunga bank tinggi

Bunga bank di Indonesia sangat tinggi hingga 12%/tahun bahkan BPR bisa Rp 24%/tahun. Di luar negeri hanya 2%/tahun. Karena biaya bank tinggi akibat deposito 4%/tahun. Di luar negeri jarang ada deposito dan tabungan. Simpanannya dalam bentuk saham.

Kalkulasi implikasinya. Jika kolektif uang bank yang beredar di pelaku bisnisnya, petani, peternak dan lainnya 12% dan luar negeri hanya 2% maka bedanya 10%/tahun. Kolektifnya jika Rp 100 triliun dipakai pelaku ekonomi ” beda borosnya ” Rp 10 triliun/tahunnya.

Konkretnya. Sebuah pabrik pupuk. Supplier bahan baku impor memakai bank 12%, pabrik berproses juga 12%, truk pengirim bahan baku dan produk final kena 12%, distributor toko pertanian juga memakai uang bank 12%/tahun. Kolektif jadi beban produknya petani HPP mahal, jual mahal juga.

4). Iklim usaha belum berpihak.

Iklim usaha jadi penentu utama. Ibaratnya media biak, tak ubahnya ikan nila akan mustahil bisa berbiak jika airnya asin atau pH rendah asam. Begitu juga pebisnis akan malas investasi cipta lapangan kerja jika banyak ” preman pungli ” di kantor pemerintahan dan lapangan masyarakat.

Implikasinya. Ongkos kirim bahan baku dari Banyuwangi ke Pangkalan Bun saja jauh lebih mahal di bandingkan dari Banyuwangi ke RRC nan jauh di sana. Akibat rumit ijin, banyak pungli dan BBM mahal. Berdampak pada HPP tinggi lalu produk akhir juga mahal dijualnya.

Konkret lagi. Seseorang sudah investasi di atas Rp 100 miliar. Mengkaryakan ratusan tenaga kerja karena integrasi kebun, sapi dan ikan. Produknya jadi pendongkrak ketahanan pangan. Jika jalan tanpa diaspal dan PLN tidak masuk. Akan malas ekspansi inovatif.

Ilmu hikmahnya. Sekalipun daya saing Indonesia meroket dari peringkat 44 ke 34 dan sekarang ke 27 di dunia. Tapi jika faktor lain kurang mendukung juga akan tidak mudah bersaing. Karena HPP tinggi, jadi sebab harga jual tinggi. Tidak bersaing. Malas investasi. Pengangguran tanpa diserap, meluber jadi TKI.

Salam Inovasi šŸ‡®šŸ‡©
Wayan Supadno
Praktisi Agribisnis
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *