Wed. Sep 18th, 2024

TATA ULANG PANGAN

ByWayan Supadno

Aug 20, 2024

Sejak era reformasi pasca krisis moneter 1998, perhatian semua pemimpin politik nasional ke sektor pertanian pangan, sangat rendah. Terlihat dari besaran APBN yang dialokasikan tiap tahunnya. Tentu pangan makin tidak berdaya.

Pengertian tidak berdaya ada 2 yaitu peringkat ketahanan pangan kalah dengan Singapura, Malaysia dan Vietnam. Makin tidak swasembada karena impornya sudah di atas 10% dari kebutuhan. Harga pangan termahal di Asean.

Cukup bersyukur APBN 2024 sektor pertanian dialokasikan Rp 114 triliun, jauh dibandingkan dengan sebelum – sebelumnya. Walaupun pandangan saya, itu masih jauh dari idealnya yaitu harus minimal 10% dari APBN setara minimal Rp 300 triliun.

Untuk investasi produktif membendung impor dan meningkatkan daya saing pangan. Misal jika pangan mahal pasti upah minta naik, implikasinya harga pokok produksi (HPP) mahal dan nilai jual produk Indonesia tidak kompetitif.

Kalkulasi logisnya ;

1). Beras.

Agar tidak impor 5 juta ton, setara harus penambahan luas tanam 5 juta : 2,56 ton/ha = 2 juta hektar. Jika anggaran Rp 30 juta/ha setara Rp 60 triliun untuk cetak sawah 2 juta hektar. Belum lagi infrastruktur persawahan, sarana dan prasarana termasuk penggilingan padi. Agar swasembada beras.

2). Sapi.

Impor sapi hidup, daging sapi dan kerbau India. Setara 2,5 juta ekor/tahun. Anak dari indukan 6 juta ekor karena anaknya akan 5 juta ekor jantan betina, jantan saja 2,5 juta/tahun (50%) nya. Setara harus impor indukan 6 juta ekor x Rp 20 juta = Rp 120 triliun agar swasembada sapi.

3). Gula.

Impornya 5,3 juta ton/tahun. Setara hasil panen dari luas 800.000 hektar. Jika mau stop impor gula maka harus mencetak kebun tebu 800.000 hektar, anggaran minimal Rp 25 juta/hektar lahan siap tanam. Setara Rp 20 triliun, padahal belum termasuk pabrik gula dan sarana prasarananya.

4). Kedelai.

Jumlah impor 3,8 juta ton/tahun. Setara dengan hasil panen 2,1 juta hektar karena produktivitas kedelai 1,8 ton/hektar. Ini butuh lahan baru agar tidak rebutan dengan komoditas lain. Butuh ekspansi di lahan gambut Rp 30 juta/ha x 20 juta hektar = Rp 60 triliun. Karena kedelai sumber protein utama kita.

Selain komoditas di atas, masih banyak lagi misal sapi perah penghasil susu selama ini impornya 82% dari kebutuhan, bawang putih 90% dari kebutuhan, industri hilir inovatif agro dan lainnya. Itu butuh dana untuk investasi produktif, cipta lapangan kerja di desa dan ketahanan nasional.

Politik anggaran APBN harus diperjuangkan agar berpihak ke pedesaan sebagai sentra penghasil pangan. Tapi sayangnya selama ini kemiskinan bersentra di pedesaan 51% dan 61% nya dari kemiskinan tersebut berprofesi petani pangan akibat indeks kepemilikan lahan sempit.

Proses guremisasi petani makin masif saat ini 16,68 juta KK pemilik lahan di bawah 0,3 ha/KK (BPS). Padahal Sensus Pertanian 2013 hanya 14,3 juta KK. Dampak dari lahan bagi warisan. Di pedesaan rumah makin berjubel, sawahnya makin dirajang sempit – sempit.

Itu semua akibat kurang ekspansi cetak sawah selama ini. Juga kurang banyak industriawan agro hilir inovatif. Padahal perannya penting menampung anak petani agar dapat kerja dan menampung hasil tani bahan baku industrinya agar ada kepastian pasar.

Industri agro ruas hilir sangat penting. Karena sekaligus memasarkan invensi hasil penelitian para peneliti agar jadi inovasi membumi. Otomatis mampu mengubah barang murah karena berlimpah, jadi barang langka karena bermanfaat jadi rebutan pasar. Dapat nilai tambah besar.

Biasa disebut karena inovasi membumi maka indeks inovasi global naik, berdampak pada indeks kompleksitas ekonomi naik juga. Lalu ekspornya bukan barang mentah tapi barang jadi langka. Implikasinya pajak banyak didapat untuk APBN dan pendapatan per kapita pasti naik.

Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *