” Jika negeri ini kurang serius peduli kepada petani, maka akan pusing sendiri dan gigit jari ” (Wayan Supadno /Pak Tani)
HUT Ke 100 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2045. Ditargetkan Indonesia jadi negara maju. Syarat mutlak jadi negara maju, pendapatan per kapita minimal USD 12.000. Ini mutlak.
Jika diurai setara dengan USD 1.000/kapita/bulan. Jika dirupiahkan harus berpendapatan minimal Rp 16 juta/kapita/bulan. Padahal saat ini baru USD 5.000, setara Rp 6,7 juta/kapita/bulan.
Padahal fakta lapangan masih banyak daerah yang UMR (upah minimum regional) nya di bawah Rp 3 juta/bulan. Masih 18% dari target Rp 16 juta/bulan. Waktunya tinggal 20 tahun lagi.
Data BPS, sebaran kemiskinan 51% berada di pedesaan dan 61% dari yang miskin di pedesaan tersebut berprofesi petani pangan. Di mana ada sentra padi, di sana ” serapan raskin ” tertinggi.
Sebab utamanya karena indeks kepemilikan luas lahan sangat sempit. Data BPS Sensus Pertanian tahun 2023 ada 16,8 juta KK pemilik lahan 0,3 ha/KK. Data Kemenko PMK 49,8% petani berpendapatan Rp 2,1 juta/bulan.
Bahkan petani padi jagung kedelai (pajale) 0,3 ha/KK. Laba didapat sekitaran Rp1 juta/bulan. Kemenko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) mengatakan itu kelompok miskin dan rentan miskin.
Jika diurai lahan 0,3 ha. Padi dapat 2 ton x Rp 6.000/kg = Rp 12 juta. Jagung juga 2 ton x Rp 6.000/kg = Rp 12 juta. Kedelai dapat 0,6 ton x Rp 15.000 = Rp 10 juta. Total omzet Rp 34 juta/tahun. Laba 35% setara Rp 12 juta/tahun atau Rp 1 juta/bulan.
Artinya sebab utama petani pajale kurang sejahtera ” bukan ” karena tanpa laba. Tapi karena luas lahan ” tidak ” memadai untuk biaya hidup. Labanya besar 35% pun, masih dapat Rp 1 juta/bulan. Jauh di bawah UMR di banyak daerah.
Ironisnya lagi, dapat laba Rp 1 juta/bulan. Dari sawah 0,3 ha setara harga minimal Rp 500 juta. Artinya kembali modal (ROI) nya harus 500 bulan. Setara dengan lamanya ROI sekitar 43 tahun. Tidak logis agribisnis.
Kesimpulan. Jika pemerintah serius mau menuju Indonesia maju tahun 2045. Harus bisa mengatasi masalah petani. Yaitu luas lahannya. Utamanya yang 0,3 ha/KK sebutan pemerintah ” petani gurem “. Sebanyak 16,8 juta KK petani.
Solusinya, cetak sawah secepatnya minimal 5 juta hektar oleh yang profesional pernah jatuh bangun cetak sawah atau kebun di banyak tempat. Dikreditkan pola KUR ke petani. Seperti PIRBun Sawit, KPR rumah diangsur dari hasilnya.
Agar developer pencetak sawah pada semangat, dirangsang dana Rp 40 juta/hektar untuk infrastruktur jalan, irigasi dan bendungan. Selain itu lahan sempit harus menanam komoditas nilai tinggi dari pada impor. Misal cabe, bawang impor ke Singapura.
Tanpa kebijakan tersebut maka terasa sangat sulit mengubah pendapatan petani pajale saat ini Rp 1 juta/KK/bulan luas 0,3 ha. Jadi Rp 16 juta/KK/bulan. Yang pada akhirnya para petani belum ikut menikmati Indonesia maju.
Hal paling penting lagi. Profesi petani butuh regenerasi yang lebih inovatif lagi berbasiskan sarjana pertanian. Agar kawula muda mau bertani memproduksi pangan. Tanpa petani muda, tanpa masa depan pangan. Itu ancaman sangat serius sebuah bangsa.
Maka syarat mutlak petani yang ada, nampak di mata mereka pada sejahtera hidupnya. Jadi testimoni banyak petani sejahtera. Maka yang latah akan banyak. Misal ATP (amati, tiru, plek) atau ATM (amati, tiru, modofikasi).
Salam Indonesia Maju 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630