Stunting, kerdil anatomi dan retardasi mental maupun kecerdasan akibat malnutrisi pada usia dini sejak janin hingga 5 tahun pertama. Utamanya karena kekurangan protein hewani (busung lapar). Pada 10 tahun terakhir sudah jadi perhatian serius pemerintah. Apalagi Presiden Prabowo lebih serius lagi dengan progja makan bergizi gratis.
Target Presiden Jokowi tahun 2024 prevalensi stunting 14%, karena tahun 2013 tinggi 37% dan fakta dicapai 21,6% (BPS). Karena banyak malpraktek manajemen, APBN untuk stunting dominan habis hanya untuk perencanaan rapat di hotel mewah dan lainnya. Bukan pada esensi solusi tupoksinya. Di negara maju maksimal 5%.
Dampak dari stunting, pertumbuhan anatominya akan kalah dibandingkan umumnya masyarakat Indonesia yang saat ini masih tergolong rendah di Asean yaitu tinggi badan hanya 158 cm (pria). IQ kecerdasan intelektual dan EQ kecerdasan emosional juga akan kalah dibandingkan lainnya. Otomatis sulit bekerjasama apalagi berkompetisi.
Korban stunting juga lebih rentan sakit, frekuensi terjangkit penyakit lebih sering. Konsekuensi logisnya akan rendah produktifitasnya. Lalu hidupnya banyak tergantung kepada orang lain termasuk kepada negara. Jadi beban jangka panjang. Ini ancaman serius sebuah bangsa. Maka harus dinolkan prevalensi stunting di Indonesia.
Banyak penyebab terjadinya stunting di antaranya karena kurangnya pengetahuan iptek, misal saat nikah kurang penyuluhan. Sehingga waktu hamil janinnya kurang asupan protein hewani bermutu tinggi. Bisa beli HP dan kendaraan serta bersolek berlebihan, tapi janin dalam kandungan kurang asupan bergizi. Jadilah anaknya lahir stunting.
Sebab lain, kurangnya pendidikan kesehatan masyarakat. Hidupnya di pedesaan banyak pekarangan tapi anaknya korban stunting. Padahal bisa memelihara ikan, ayam dan lainnya sebagai sumber protein hewani. Karena minimnya keterampilan hidup untuk hidup terampil mandiri. Iptek yang diajarkan tidak dijabarkan di lapangan.
Sebab lain lagi, karena rendahnya daya beli masyarakat. Misal keluarga pengangguran karena korban PHK atau melamar kerja tiada pernah diterima. Tapi tanpa mau mulai usaha mandiri. Karena pendapatan per keluarga per bulan sangat rendah, sehingga untuk makan sehat sekeluarga ” tidak cukup ” bergizi protein hewaninya.
BPS jumlah kemiskinan berpendapatan/kapita di bawah Rp 500.000/bulan. Atau di bawah Rp 2 juta/keluarga/bulan masih 26,36 juta orang atau setara 9,57%. Tentu kalau pendapatan di bawah Rp 500.000/bulan sangat sulit beli pangan bermutu, utamanya protein hewaninya. Ini juga sebagai kontributor tingginya stunting 21,6%.
Jika ditarik ke belakang, kenapa masih banyak pengangguran dan kemiskinan jadi kontributor korban stunting. Karena sulitnya mencari lapangan kerja. Karena minimnya pengusaha pencipta lapangan kerja. Karena didikan kita dominan hanya disiapkan jadi pelamar kerja. Bukan perekrut pencari kerja. Hanya jadi vendor/supplier tenaga kerja.
Itulah sebabnya saya terus berusaha konsisten mengajak anak muda agar mau jadi pengusaha bidang pangan bermutu, kompetitif karena inovatif. Bersinergi dengan para peneliti. Dengan suri tauladan, melakukan duluan di lapangan. Agar protein hewani murah misal ikan patin dan sapi. Sekaligus cipta lapangan kerja lalu daya beli tinggi agar nol prevalensi stunting.
” Perbuatan baik adalah cara dakwah agama terbaik “
(KH Ahmad Dahlan).
Salam Nol Stunting 🇮🇩
Wayan Supadno
Praktisi Agroinovatif
HP 081586580630