Selama Idul Fitri, selalu bisa mengubah keadaan umat manusia. Semua dituntut kesadarannya agar rendah hati, agar minta maaf dan saling memaafkan. Indah sekali. Karena tuntunan agama.
Jutaan manusia mudik (mulih ke udik/pulang ke kampung). Ekonomi, sosial dan budaya digerakkan dengan begitu dinamisnya. Puluhan triliun nilai transaksi di masyarakat. Semua dapat rahmat Nya.
Dari masa ke masa terus tiada henti terjadi proses transformasi kehidupan. Utamanya di masyarakat pedesaan. Jika didata, dikompilasi dan dianalisa. Selalu menghadirkan kesimpulan dan ilmu hikmah.
Jika mau menerapkan ekonometrika. Data empiris tersebut jadi bahan kajian. Kita tahu gejalanya. Mau kemana arahnya di masa depan. Terlihat jelas. Tinggal diprediksi dan diantisipasi dengan kebijakan.
Contoh ;
Penduduk di pedesaan di Jawa makin berjubel. Ini makin nampak jelas jika desa tersebut minim yang merantau dan hampir semua menekuni pertanian. Lahan makin sempit tapi jumlah penduduk makin banyak.
Dampaknya terjadi proses guremisasi, istilah pemerintah petani pemilik lahan di bawah 0,5 ha/KK. Guremisasi makin massal dan meluas. Tahun 1980 an, indeks kepemilikan sawah 3 ha/KK.
Prosesnya, saat tahun 1980 an. Kakek Nenek kita punya 3 ha. Dibagi kepada anaknya rerata 4 orang. Dibagi lagi jadi warisan anaknya 2 orang/KK. Jadilah 0,3 ha/KK saat ini 16,8 juta KK (BPS 2023). Ini harusnya tidak boleh terjadi.
Idealnya, tetap 1 orang saja yang jadi petani tapi tetap minimal memiliki 3 ha sawah/KK. Sisa anak cucunya jadi profesional dan pengusaha industri yang menampung anak petani yang tidak bertani dan sekaligus menampung hasil taninya.
Implikasinya, hasil tani ditampung oleh Industriawan agro inovatif. Jadi produk turunan langka. Yang jadi rebutan di pasar ekspor. Jadilah mahal karena permintaan besar, tapi daya suplai kurang. Hasil tani jadi ikut mahal juga.
Konsekuensi logisnya. Yang jadi petani tetap sedikit tapi sejahtera karena sawahnya luas. Hasilnya ditampung oleh industri pabrik agro. Petani sejahtera. Yang punya pabrik banyak karyawan anak petani, jadilah mereka sejahtera bersama.
Pemilik industri tersebut anak – anak petani juga yang kuliahnya hingga pascasarjana. Didukung Tim Ahli Doktor/PhD teman – teman kuliahnya juga. Yang selalu riset mencari inovasi langka produk turunan hasil tani. Anak petani juga.
Produk akhirnya bisa membendung impor hemat devisa atau ekspor cetak pajak dan devisa. Eksportirnya juga anaknya petani. Yang melayani di kantor pajak dan bea cukai di pelabuhan juga anak – cucu petani. ” Itulah transformasi pemuda desa yang benar “.
Kesimpulan, jika semua anak petani harus bertani juga. ” Itu yang salah fatal “. Apalagi jika hingga rebutan sawah dibagi warisan hingga sempit milik banyak petani (guremisasi). Jika itu terjadi, maka kemiskinan dan rentan miskin di pedesaan bukan turun. Tapi akan ” turun temurun ” ke anak cucu .
Ilmu hikmahnya, harus dibuat iklim usaha dan iklim inovasi membumi. Dimotivasi agar anak muda keluarga petani pada mau dan gigih jadi Industriawan (Owner) pabrik industri produk ekspor bahan bakunya hasil tani kita. Sekaligus cipta lapangan kerja buat anak – anak petani. Cetak pajak dan devisa.
Salam Mandiri 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630
Sangat bagus tulisan pak Wayan.
Saya ikuti alur berpikirnya, cukup memberikan informasi dan letupan untuk berpikir persoalan yang diangkat. Namun, perlu solusi kongkrit yang realiatis sebagai kesimpulan dari topik yg dibahas dan ditulis. Untuk menghindari anggapan, itu hanya kumpulan narasi yang mengambang.
Upaya yang sangat bagus, yang bisa memotivasi dan menjadi bahan diskusi yang cukup menggugah.
Salam petani hebat. Tetap semangat.