Mon. Jun 23rd, 2025

Krisis sawit migor sungguh memprihatinkan. Kebijakan politik memang benar bagai sebilah pedang paling tajam dalam membuat perubahan besar. Perubahan jadi lebih baik atau sebaliknya. Hal tata niaga sawit migor, contoh kongkritnya. Pendek kata, kita semua dirugikan, kecuali Malaysia diuntungkan. Minimal di bawah ini ;

1. Pendapatan negara turun drastis.

Selama dua bulan ini jika dianggap ” hanya ” setara rerata pendapatan tahun 2021. Kerugian devisa Rp 86 triliun, tahun 2021 Rp 515 triliun. Pajak ekspor (Bea Keluar) Rp 14,2 triliun, tahun 2021 Rp 85 triliun. PPN di PKS Rp 24,3 triliun, tahun 2021 Rp 146 triliun. Pungutan ekspor (PE / BPDPKS) Rp 11,8 triliun, tahun 2021 Rp 71 triliun. Masih banyak imbas PPh dan lainnya. Pertumbuhan ekonomi di banyak daerah sentra sawit jatuh.

2. Eksportir kehilangan pelanggan dan mitra pemilik kapal.

Keluhan eksportir sebagian pelanggannya sudah berpaling ke CPO Malaysia. Begitu juga pemilik kapal tidak lagi semudah dulu, merasa dinomor sekiankan. Kecewa berat. Kapal dipesan sekarang baru bisa dilayani paling cepat bulan depan. Enggan jika tiada kepastian atau masih ada kebijakan DMO, DPO dan Flush Out. Karena risiko tidak muat lalu harga CPO kita diturunkan.

3. Beban berat pengusaha tangki timbun refinery dan CPO di PKS.

Karena terus mengendap di tangki timbun. Terancam masa kadaluarsanya 6,1 juta ton CPO setara devisa Rp 135 triliun. Juga biaya operasional harian tinggi sekali. Mendongkrak biaya produksi (HPP) makin naik. Saat harga CPO turun akibat mulai panen raya minyak nabati dunia, pesaing sawit. Menekan harga CPO domestik, tender 2 hari lalu di PT KPBN Rp 7.700/kg CPO. Padahal CPO global Rp 19.000/kg CPO.

4. Pengusaha PKS terbebani moral materialnya

Pabrik kelapa sawit (PKS) sesungguhnya tanpa diminta – minta oleh pemerintah agar beli TBS petani. Pasti berebut TBS sepanjang logis bisnis. PKS dibenturkan dengan Pemda dan petani massal. Tangki CPO penuh dan PKS tutup makin disalahkan, padahal gaji karyawan dan bunga bank tetap berjalan. Akhirnya ada yang memberlakukan grading minimal 30% lazimnya 2% jadi beban berat petani.

5. Petani terlalu tersakiti hatinya, merugi terancam bangkrut massal.

Karena petani di ruas paling hulu, pasti jadi tumpuan multi beban beratnya. Jika mau ekspor pemerintah dapat dari pungutan ekspor US $ 200/ton. Bea Keluar Pajak Ekspor US $ 288/ton. Flush Out US $ 200/ton. Totap US $ 688/ton setara Rp 10.5 juta/ton CPO. Sisanya ke petani hanya Rp 7,7 juta/ton di Pelabuhan setara TBS Rp 1.200/kg TBS di PKS. Padahal biaya produksi (HPP) Rp 1.800/kg.

6.Masyarakat tanpa dapat berlimpah migor Rp 14.000/liter non subsidi.

Janji migor Rp 14.000/liter non subsidi, ini mustahil bisa terwujud. Sama persis menjanjikan harga gula, beras atau kedelai hanya Rp 3.000/kg. Di bawah HPP, maka pasti petaninya bangkrut massal. Migor Rp 14.000/liter, setara CPO Rp 5. 000/kg, setara TBS Rp 700/kg. Petani bangkrut massal. Karena HPP Rp 1.800/kg. Wajar ribuan orang tiap hari dikabarkan pergi jadi TKI Malaysia, mengurus sawit juga.

HPP (harga pokok produksi) suatu indeks hasil bagi antara biaya produksi dengan jumlah produksi. HPP di petani Rp 1.800/kg TBS. Karena pupuk kimia NPK Rp 16.000/kg sejak perang Rusia Ukraina naik 2x lipatnya. Jika 1 ton/ha/tahun atau 7 kg/pokok/tahun. Biaya pupuk NPK saja Rp 16 juta/ha/tahun. Umumnya petani hanya dapat 16 ton/ha/tahun. Setara Rp 16 juta : 16 ton = Rp 1.000/kg TBS. Biaya panen Rp 225/kg, muat ke truk Rp 30/kg, ongkir ke PKS Rp 200/kg, total Rp 1. 455/kg. Belum lagi dolomit, herbisida, pruning, piringan dan rawat jalan.

Bagaimana nasib bangsa serumpun dengan kita sesama pemilik sawit yaitu Malaysia ?

1. Malaysia ibarat orang Jawa ” Thenguk – thenguk nemu gethuk “ Duduk manis berpangku tangan disajikan getuk. Atau ketiban durian runtuh, saat rindu si Raja Buah. Pangsa pasar CPO negara tujuan dari Indonesia di banyak negara telah banyak diambilnya. Termasuk pelanggan kapal untuk ekspor CPO kita. Dapat tenaga terampil sawit dari Indonesia besar – besaran atau TKI. Biasa di sana dipanggil Indon. Duuuh..

2. Dapat devisa jumlah sangat besar karena volume ekspor naik tajam, pas saat harga CPO global melambung tinggi. Walaupun Malaysia tanpa pajak pungutan tinggi, karena kebijakan ekspornya Malaysia terbalik dengan Indonesia. Malaysia pajak ekspor diminimalkan agar kompetitif di pasar global dan petaninya sejahtera. Pengusahanya betah makin ekspansif dan mau menggelorakan semangat berwirausaha ke kawula muda.

Sebaliknya, Indonesia pajak pungutan ekspor dimaksimalkan dampaknya CPO murah tidak kompetitif di global dan domestik. Petani miskin massal dadakan. Pengusaha resah mau melakukan PHK massal, bisa jadi jumlah pengangguran dan kemiskinan tambah banyak. Karena sawit mengkaryakan 17 juta KK. Padahal dulunya komoditas ini didesain sebagai mesin pencetak devisa penguat bangsa.

Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
Dewan Pakar Sawit
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *