Wed. Jun 25th, 2025

Wayan Supadno

Bank Dunia saat ini menilai Indonesia bahwa harga berasnya paling mahal dibandingkan negara – negara Asean, bahkan beda lebih mahalnya hingga 20%. Tapi secara bersamaan para petaninya belum juga sejahtera dibandingkan profesi lainnya.

Pendapat analisis antara ekonomi makro nasional perpolitikan, ekonomi mikro konsumen dan ekonomi mikro produsen (petani) pasti beda semua. Karena punya dasar pertimbangan masing – masing.

Pendapat ekonomo makro selalu dikaitkan dengan inflasi dan daya saing. Karena saat harga pangan naik, selalu diikuti kenaikan upah lalu meningkatkan indeks biaya produksi atau HPP (harga pokok produksi) yang mahal.

Pendapat ekonomo yang berbasiskan kepentingan konsumen selalu dianggap sesuatu yang ” sangat memberatkan ” biaya hidup hajat orang banyak. Beban hidup tinggi, pendapatannya makin sulit dialokasikan ke pangan dan lainnya.

Pendapat para praktisi produsen pangan (petani) inilah kesempatan emas meningkatkan derajat kesejahterannya. Walaupun belum mumpuni, karena dibatasi oleh indeks luas sawah hanya 0,3 ha/KK sebanyak 16,68 juta KK (BPS).

Padahal idealnya, beras atau pangan harus murah dan secara bersamaan para petaninya harus makmur sejahtera. Caranya dengan menekan harga pokok produksi (HPP) di petani, biaya harus murah dan hasilnya berlimpah.

Karena petani selain sebagai produsen juga sebagai konsumen beras. Dampaknya jika pangan mahal, maka upah mahal dan segala macam barang maupun jasa juga akan paralel ikutan mahal juga. Ini yang paling sering tanpa disadari oleh para petani.

Konkretnya, jika pangan mahal maka upah buruh pabrik pupuk dan sopir truk yang mengantar pupuk juga minta dinaikkan. Tentu berdampak pada kenaikan harga pupuk untuk petani, yang akan jadi biaya penyerta terbesar produksi beras di petani.

Sehingga saya pribadi tidak heran jika Bank Dunia mengatakan keheranannya harga beras di Indonesia termahal di Asean, tapi kesejahteraan petani di Indonesia masih jauh dari harapan. Pendapatannya masih di bawah Rp 5 juta/bulan. Faktanya Rp 2,1 juta/bulan.

Faktor lain penyebab biaya produksi beras di petani tinggi. Karena biaya sewa sawah sangat mahal tertinggi di Asia. Saat ini di Jawa sewa sawah sekitar Rp 30 juta/ha/tahun. Beban berat ini tidak dialami oleh petani di luar negeri. Bahkan di negara lain tanpa sewa.

Bunga kredit bank di Indonesia 12%/tahun, tapi di negara lain hanya 2%/tahun. Tingginya bunga bank 12%/tahun dibebankan ke pabrik pupuk, leasing truk dan lainnya. Semua berujung jadi beban petani sebagai pengguna produknya.

Hilirisasi inovasi di Indonesia sangat rendah, dominan hasil riset masih tersimpan di lemari. Sehingga gabah di Indonesia hanya 5,4 ton/ha rerata nasional. Tapi di Vietnam mantan mahasiswa kita 5,9 ton/ha. Jika modal produksi sama maka Vietnam bisa jual lebih murah.

Iklim usaha dan tata niaga, politik di Indonesia belum berpihak nyata. Konkretnya tahu bahwa sebab utama petani jadi sentra kemiskinan karena luas tanahnya hanya 0,3 ha/KK tapi baru sekarang dilakukan ekstensifikasi cetak sawah target 4 juta hektar selama 4 tahun.

Begitu juga pengairan hal mutlak untuk padi, tapi banyak sawah yang kesulitan air karena bendungan kurang banyak dan irigasinya rusak. Lalu hanya bisa menanam padi sekali dalam setahun. Banyak sawah belum optimal produksinya. Akibat APBN dan APBD ke pertanian alokasinya hanya 2% saja. Ironis.

Artinya jika Indonesia punya mimpi jadi negara makmur adil sejahtera. Harus ada peningkatan kesejahteraan petani dan secara bersamaan harga pangan murah agar kompetitif semua produk Indonesia. Solusinya petani labanya sehat agar semangat berkarya.

Caranya pembuat kebijakan mesti meniru negara lain yaitu minimal 10% dari APBN/APBD dialokasikan ke pertanian pangan untuk cetak sawah, irigasi, modernisasi cara bertani dan lainnya. Inovasi membumi dan tata niaga berpihak. Negara paling kuat jika SDM bermutu, berdaulat pangan dan energinya.

Salam Berdaulat šŸ‡®šŸ‡©
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *