Sungguh, begitu bersyukurnya ketika menyimak acara G20 di Bali 2 bulan lalu. Negara kita sangat dihargai oleh dunia, utamanya oleh negara – negara besar dunia. Begitu juga saat sengketa di WTO hal sawit dengan Uni Eropa, kita menang. Hebat luar biasa.
Paling terkini berani mengumumkan bahwa ekspor bauksit akan distop Juni 2023. Padahal baru disengketakan di WTO dan kalah soal stop ekspor nikel. Juga semalam PPKM Covid telah resmi dicabut. Ini menggegerkan penduduk sedunia.
Artinya bahwa Indonesia telah berubah, lihatlah wahai dunia. Indonesia akan jadi negara terkuat ketiga di dunia dari aspek ekonominya. Pada saat 100 tahun kemerdekaannya 2045. Itu targetnya. Tentu saya sangat bersyukur dan bangga sekali.
Tapi hati nurani saya, sebagai petani peternak, kok bersuara. Indonesia Emas 2045 pondasi utama mutu manusianya. Akan terwujud jika mutu manusia penerusnya mampu mewujudkannya. Faktanya 5 tahun lalu 2018 angka stunting masih 30% artinya 1 dari 3 balita kena stunting.
Stunting adalah malnutrisi kronis akibat kurang asupan pangan bergizi tinggi. Wujudnya bisa kerdil, produktivitasnya rendah dan kurang cerdas. Padahal mereka yang 10 tahun lalu lahir, tahun 2045 yang akan mulai memimpin negeri ini nantinya pada berbagai sektor. Bisa dibayangkan.
Tahun 2018, dijanjikan angka stunting 16% saja, pada tahun 2024. Saat ini 2022 masih 24,4%. Terjelek ke – 5 sedunia dan terjelek ke – 2 di Asean, setelah Timor Leste. Implikasi ke depannya akan serius dampak negatifnya. Tahun 2045 kurang kompetitif.
Linier dengan janji pemerintah tahun 2018 bahwa target 2023 Indonesia swasembada sapi. Karena ini salah satu sumber utama protein hewani meminimalkan stunting. Faktanya impor sapi dan daging justru makin meroket tajam setara 1,5 juta ekor sapi hidup per tahunnya, tahun 2022.
Sebaliknya, limbah pabrik kelapa sawit (PKS) bungkil sawit sumber pakan sapi bermutu tinggi sesuai SNI. Potensinya 7 juta ton/tahun atau 3% dari 240 juta ton TBS/tahun. Justru diobral murah diekspor ke Selandia Baru dan Australia. Setelah jadi susu dan sapi, lalu kita impor lagi. Nilai tambahnya dinikmati negara lain.
Wajar saja jika harga pangan Indonesia termahal di Asean menurut Bank Dunia. Lalu hanya 68% setara 183,7 juta jiwa yang mampu beli pangan bergizi tinggi. Karena harga pokok produksi (HPP) tinggi. Dampak dari pakan berprotein kadar tinggi bungkil sawit justru diekspor.
Terbalik dengan maunya Pak Jokowi terhadap nikel, bauksit, timah dan lainnya. Agar stop ekspor bahan mentah. Karena bungkil sawit adalah bahan mentah pakan, susu dan sapi adalah bahan jadi. Itu ibaratnya. Dampaknya peternak luar negeri jaya, peternak Indonesia mati suri.
Lalu apa alternatif solusinya ?
1. Pemerintah harus mengkaji ulang target mana saja yang belum sesuai harapan. Dikejar dengan strategi yang tepat. Misal stunting agar hanya 16% dan swasembada sapi 2023 benar diwujudkan. Karena keduanya saling kait mengait. Agar jadi pondasi Indonesia Emas 2045 negara terkuat di dunia.
2. Caranya impor 4 juta ekor sapi betina dara bunting agar anak jantannya 1,5 juta ekor/tahun setara jumlah impornya. Bungkil sawit distop ekspornya jadi pakan sapi sendiri. Tercipta lapangan kerja massal, agar sapi murah, pangan murah dan stunting berkurang tajam. Manusia Indonesia sehat, cerdas dan produktif tinggi.
3. Sumber dananya impor sapi 4 juta ekor dari CSR pabrik sawit. Misal 2.000 ekor/PKS pakannya limbah PKS. Agar masyarakat sekitar terbina sama sejahteranya. Dengan KUR bunga 6%/tahun atau bunganya disubsidi paling hanya Rp 5 triliun untuk kredit 4 juta ekor x Rp 20 juta/ekor = Rp 80 triliun.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630