Tulisan ini hanyalah fiksi belaka. Ilustrasi sebuah situasi. Bahan refleksi diskusi dengan hati. Bisa jadi untuk diri sendiri termasuk saya juga. Bisa juga untuk organisasi, negeri dan bumi kita ini.
Di ruang untuk merokok ” smoking room “. Sering kali ada di Bandara. Umumnya lebih kotor, pengap, tidak sehat dan tidak nyaman dibandingkan tempat lainnya. Apalagi bagi orang yang bukan perokok, sangat tidak suka.
Ada seseorang baru keluar dari ruang merokok tersebut. Pasti baru saja ikut juga merokok, cukup lama di dalamnya, merokok sepuasnya tanpa beban. Dinikmati ikut serta membuat ruangan makin tidak baik.
Anehnya saat keluar dari pintu ruang merokok tersebut berkomentar sumbang seolah dirinya tidak perokok, padahal bau nafas dari mulutnya dan pakaiannya saja jelas perokok. Ikut serta memperparah keadaan.
Dilupakan atau pura – pura lupa agar terkesan tidak ” berbuat merokok ” pada komunitas perokok tersebut. Padahal semua orang tahu dia perokok berat. Seolah 1 telunjuk menyalahkan orang lain, 4 jari sisanya buat salah dirinya.
Ada lagi, di dalam ruang merokok tersebut. Karena ruangan besar bisa menampung orang perokok berjemaah jumlah banyak. Semua sedang merokok. Sebagian menggerutu merasa pengap, tidak sehat dan lainnya, sambil menikmati rokok.
Tiada hentinya, menghakimi yang lainnya. Seolah dirinya paling steril dari tabiat jelek merokok. Seolah juga orang lain dianggap jahat sekali karena merokok. Hem, padahal sudah kenyang asap. Sudah jadi mendarah daging, tanpa disadarinya.
Ada lagi beberapa orang, tahu persis ruangan sudah pengap tidak sehat. Bukannya menahan diri agar tidak berkontribusi merokok yang pasti akan makin memperparah keadaan. Tapi faktanya ikut juga merokok. Karena ada peluang.
Lalu masuk juga ke ruang merokok tersebut. Ikut merokok lagi. Makin pengap lagi. Asap ruangan makin pekat. Anehnya, banyak juga tulisan dilarang merokok tidak menyehatkan dan berbahaya. Hanya sebatas jadi slogan belaka.
Ilmu hikmahnya, banyak yang tahu merokok, tabiat tidak baik dan tidak menyehatkan dirinya dan lingkungannya. Tapi tidak konsisten ikut berbuat lebih baik. Punya ilmunya. Ada peringatannya. Tapi tetap jalan tidak baik.
Begitu juga melihat situasi banyak pengangguran. Banyak orang yang hanya menyalahkan keadaan tanpa mawas diri, tiada mau berbuat sesuatu yang akan berkontribusi mengurangi pengangguran tersebut. Ibaratnya, ikut membuka jendala.
Andaikan yang menganggur mau ulet, berbuat beda dari yang biasanya hanya menganggur, niscaya produktif. Bahkan menampung lainnya yang menganggur agar produktif juga. Jadi sehat semua situasinya.
Kalkulasinya, jumlah pengangguran 7,99 juta (BPS). Jika produktif rerata Rp 100 juta/tahun maka PDB (Produk Domestik Bruto) akan tambah minimal Rp 8.000 triliun dengan multiplier effectsnya. Jadinya bisa naik APBN nya juga.
Begitu juga hal korupsi. Ini parah lagi. Persis pada ilustrasi merokok di atas. Hanya saja mau tidak kita mawas diri. Tahu diri. Ikut berkontribusi untuk tidak merusak negerinya sendiri. Dengan cara mudah mengendalikan diri. Self driven.
Kadang, banyak orang punya banyak waktu hanya dihabiskan waktunya untuk menghakimi pihak lain, tapi saat bersamaan sedikit orang punya sedikit waktu karena sibuk berkontribusi produktif. Saatnya tahu diri.
Salam Bangkit 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630