Mon. Feb 3rd, 2025

Wayan Supadno

Sawit kita sampai detik ini datanya belum ada yang valid, satu sumber dengan sumber lainnya banyak yang berbeda. Ada pula dari waktu ke waktu kalau saya ikut kongres perihal sawit itu saja datanya, tidak tambah dan tidak kurang. Aneh tapi nyata. Sehingga tidak bisa jadi pedoman terfiksasi. Begitu juga artikel ini.

Indonesia pemilik kebun sawit terluas di dunia 16,38 juta hektar, sawit petani 6,9 juta hektar milik 1,8 juta keluarga. Produsen minyak mentah sawit (CPO) terbanyak di dunia 54 juta ton/tahun dan minyak mentah inti sawit (PKO) 6 juta ton/tahun. Sekaligus konsumen sawit terbanyak di dunia 27 juta ton/tahun untuk pangan, energi dan oleokimia.

Riwayat sawit berawal 4 butir di Kebun Raya Bogor sekarang mendunia dan komersil walaupun asalnya sawit adalah tanaman hutan Nigeria. Indonesia dulu kalah luas dengan Malaysia. Tapi sekarang luas sawit Indonesia hampir 3 kali sawit Malaysia. Sawit komoditas paling inovatif dan punya 189 produk turunan serta dipakai oleh 178 negara.

Sawit salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia tanpa itu bisa lumpuh juga. Karena setara 6% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat ini sekitar Rp 23.000 triliun. Lapangan kerja 18 jutaan keluarga, hulu hingga hilir. Devisa sawit pernah tembus Rp 633 triliun/tahun dan dominan ekspor wujud RPO, CPO hanya 7%, PKO dan produk lainnya.

Pesatnya sawit Indonesia tidak lepas dari kebijakan Pak Harto perluasan sawit dengan pola 20% milik perusahaan Inti dan 80% milik Plasma Masyarakat Transmigrasi. Termasuk Orang Tua saya dulu di Kandis Riau tahun 1996, sekarang kawasan tersebut pada makmur sejahtera. Multi profesi ada di dalamnya. Luar biasa membanggakan.

Problematika sawit dalam data dan fakta lapangan, sebagai berikut :

1). Regulasi Tidak Konsisten.

Jaman Orde Baru kebijakannya agar tiada melahirkan rasio gini kesenjangan sosial ekonomi proporsi antara perusahaan sebagai inti hanya 20% dan 80% dari luas untuk plasma masyarakat. Lalu berubah jadi terbalik saat reformasi 20% plasma dan 80% inti. Belasan tahun terakhir justru tanpa plasma 100% inti perusahaan, boleh juga.

Jaman Orde Baru maksimal 100.000 hektar tiap grup perusahaan sawit dan maksimal 20.000 hektar/provinsi/grup perusahaan guna menghindari proses terjadinya kapitalisasi/konglomerasi berlebihan. Fakta lapangan terjadi perluasan tanpa kendali. Ada jutaan hektar sawit perusahaan tanpa HGU.

Sesuai arahan Presiden Prabowo 3 hari lalu di Hambalang agar ditertibkan. Jika dilakukan audit lapangan diukur dengan GPS dicocokkan dengan tertulis di Surat HGU saya yakin 99% tidak cocok. Lebih luas di lapangan. Berbagai pihak memperkirakan minimal 2,5 juta hektar selisihnya. Ini merugikan negara.

Perluasan sawit sebelum tahun 2014 dan saat itu tiada batas antara milik kehutanan atau bukan. Sehingga bebas menanam sawit di manapun juga. Termasuk di kawasan hutan konservasi, hutan produksi dan hutan lindung yang gundul karena pembalakan liar. Tahun 2014 ditertibkan dasar data satelit Jaman Belanda, maka banyak yang timpang tindih.

Termasuk banyak kawasan transmigrasi ribuan penduduk dibangun tahun 1970 an hingga tahun 2.000 an. Sudah ada Sertifikat Hak Milik (SHM). Rumah permanen penduduk, sekolah, kantor desa hingga kantor gubernur dan fasilitas lain. Ternyata masuk kawasan kehutanan. Bahkan rumah dibangun sebelum merdeka juga masuk kawasan kehutanan.

2). Kapital Terbang.

Karena sawit banyak milik PMA, termasuk peninggalan Salim Group saat krismon 1998 dibeli oleh BUMN Malaysia Guthrie luas ratusan ribu hektar. Milik orang Singapura dan orang Inggris. Jika ditotal dengan saham di perusahaan Tbk, juga jutaan hektar. Artinya selain milik PTPN sekitar 638.000 hektar dan petani 6,9 juta hektar. Sisanya 9 jutaan hektar milik perusahaan PMDN dan PMA.

Sisi lain lagi minimal ada 4 perusahaan besar milik konglomerat memiliki pabrik ruas hilir di luas negeri selain sawit milik PMA tersebut yang bahan bakunya dari sawit Indonesia. Sehingga berpotensi terjadi ” kapital terbang ” yaitu DHE (Devisa Hasil Ekspor) minimal Rp 300 triliun/tahun tidak kembali ke Indonesia. Ini juga dianggap merugikan likuiditas negara. Ini mau ditertibkan.

Catatan penting, negara harus memahami situasi lapangan utamanya para petani sawit 1,8 juta kepala keluarga. Bahwa kebun sawitnya adalah sumber hidupnya termasuk untuk biaya sekolah. Bahwa selama ini tiada yang tahu kalau masuk kawasan kehutanan dan selama ini tetap kena pajak saat menjual ke pabrik dan kena pungutan ekspor oleh BPDPKS saat ekspor.

Dana pungutan ekspor oleh BPDPKS dari sawit petani yang selama ini untuk riset, peremajaan sawit rakyat, beasiswa anak petani dan subsidi B40 hingga puluhan triliun/tahun. Kontribusi besar para petani sawit puluhan tahun selama ini dalam membangun negeri ini tidak boleh dipungkiri harus dihargai, tanpa lagi jadi beban negara karena mandiri dan produktif.

Harus ditertibkan secepatnya agar sawit jadi lokomotif kemakmuran yang berkeadilan di negeri tercinta ini. Ruas hilir rejekinya terbanyak, petani sawit harus dapat hak juga, karena selama ini hanya jadi supplier dan penonton saja, misal tiap pabrik harus ada saham milik para petani wujud koperasi misalnya. Jutaan ton bungkil sawit harus distop ekspornya untuk pakan ternak agar swasembada daging agar nol stunting.

Salam Mandiri 🇮🇩
Wayan Supadno
Anggota Dewan Pakar Sawit
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *