Ciri khas ” Indonesia Emas ” adalah manusianya emas. Artinya kompetitif tingkat global karena sinergitas yang tinggi di internal Indonesia. Semua melibatkan diri dalam kontribusi dan terberdayakan optimal produktif. Salah satu indikasinya, pendapatan per kapita naik 20 kalinya saat ini.
Ilustrasi di atas bisa terwujud, jika pembangunan manusia dapat porsi target prioritasnya. Manusia akan bermutu tinggi jika sehat, berkarakter dan berkapasitas mumpuni. Ini bisa terwujud, jika pondasi utamanya yaitu pangan yang bermutu dan cukup serta mudah diakses.
Artinya ketahanan pangan dan swasembada pangan harus terwujud. Ketahanan pangan dan swasembada pangan, 2 hal sangat beda. Ketahanan pangan meliputi, harga terjangkau, bermutu, cukup dan mudah diakses. Swasembada pangan jika impornya maksimal 10% dari kebutuhannya (FAO).
Jika diurai kenapa negara maju tidak swasembada pangan tapi peringkat atas ketahanan pangannya. Misal, Singapura peringkat 1 ketahanan pangan di Asean. Sebab utamanya pendapatan per kapita tinggi hingga 16 kali Indonesia. Harga beras Rp 25.000/kg, bukan masalah.
Pertanyaan klasik berikutnya. Kenapa di Asean, Singapura ketahanan pangan peringkat 1 dan pendapatan per kapita juga peringkat 1. Karena proporsi jumlah pengusahanya juga peringkat 1. Serta karena indeks inovasi global, indeks kompleksitas ekonomi dan indeks kemudahan berusaha juga peringkat 1.
Sebaliknya, di Indonesia beras naik sedikit saja. Jadi pemicu liarnya inflasi hingga 5,32% Februari 2024 (BPS). Karena pendapatan per kapita kita sangat rendah. Dampak langsung banyak yang miskin dan rentan miskin. Karena banyaknya pengangguran jadi beban yang lainnya. Hidup adalah biaya.
Apa solusi logis konkret terukurnya ?
Jika mau membendung impor beras 5 juta ton, maka harus menanam padi yang menghasilkan 5 juta ton beras. Karena indeks produksi beras 2,56 ton/ha. Maka harus menanam padi 2 juta hektar lagi. Jika sawah yang ada tidak lagi mampu maka harus cetak sawah baru. Plus intensifikasi.
Jika mau membendung impor gula 5,3 juta ton/tahun (BPS). Yang terjadi selama ini. Maka harus produksi sendiri, agar tidak mahal harga gula jika langka. Volumenya sama dengan yang diimpor 5,3 juta ton/tahun, setara dengan luas tanam 800.000 ha. Jika lahannya tidak cukup, harus ekspansi. Mutlak.
Jika mau membendung impor kedelai 3,2 juta ton/tahun (BPS). Harus bisa produksi sendiri sebanyak yang diimpor tersebut. Karena provitas kita 1,7 ton/ha. Maka setara dengan 3,2 juta ton : 1,7 ton/ha = 1,9 juta hektar. Jika tiada lahan. Wajib cetak sawah baru. Karena kedelai bahan baku tahu tempe, andalan protein masyarakat Indonesia.
Jika mau membendung impor bawang putih 650.000 ton/tahun, setara harus menanam sendiri seluas 110.000 hektar. Jagung, palawija kacang hijau dan lainnya. Sama persis, harus memproduksi dalam negeri. Masyarakat diberdayakan untuk mengolah lahan agar sama produktifnya. Berperan produktif.
Kesimpulan, jika mau mewujudkan Indonesia Emas 2045 saat HUT Ke 100 Tahun RI. Maka prioritas pembangunannya adalah manusianya. Utamanya pangan. Barulah kesehatan dan pendidikan. Didukung iklim usaha. Agar pada gemar usaha, cipta lapangan kerja. Tiada menganggur, produktif sejahtera tidak miskin. Apalagi stunting.
Salam Bangkit 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630