Lambatnya percepatan pembangunan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh multi kepentingan. Itu yang selama ini tanpa diketahui masyarakat bawah. Utamanya taktis partai politik (parpol).
Begitu juga pembangunan sektor pertanian. Utamanya upaya swasembada pangan. Banyak program kerja (progja) pemerintah, yang terganjal lajunya oleh kepentingan parpol. Memprihatinkan.
Tidak swasembada pangan pada makanan utama sangat beresiko bagi sebuah bangsa. Termasuk bagi Indonesia yang jumlah penduduknya 278 juta jiwa. Ini harus sangat serius dapat atensi politik.
Ilustrasi. Jika terjadi Perang Dunia ke 3, lalu pangan kita masih seperti saat ini jumlah impor minimal Rp 330 triliun/tahun. Rasanya cukup dihadang pangan impor di tengah laut, sangat serem dampaknya.
Saat pandemi covid minyak goreng langka saja, antri panjang sudah pada saling menyalahkan sesama anak bangsa. Kepanikan timbul saat impor gula terlambat datang harga Rp 23.000/kg.
Apalagi jika beras impor langka harga pasar Rp 30.000/kg, daging sapi Rp 200.000/kg, gula harga Rp 30.000/kg, kedelai Rp 30.000/kg, bawang putih Rp 60.000/kg dan lainnya naik juga. Pasti ribut besar – besaran.
Pasti inflasi melambung tinggi. Bisa jadi seperti tahun 1998 inflasinya 82,4 %. Saat krisis moneter, melengserkan Pak Harto. Saat itu pemicu pertama karena emak – emak tidak mampu beli susu bubuk impor.
Swasembada pangan Indonesia, terasa makin jauh panggang dari api. Karena banyak intervensi politisi. Tidak terjangkau oleh teknis pertanian. Iklim usaha pertanian Indonesia ” sangat jelek ” dibanding negara lain.
Iklim usaha pertanian jelek ini membentuk harga pokok produksi (HPP) terlalu tinggi. Biaya produksi tinggi, hasilnya rendah. Biaya menanam kentang sama dengan RRC, tapi di RRC biasa 60 ton/hektar, di kita hanya 25 ton/hektar.
Atau sebaliknya, ongkos kirim cocopeat dari Banyuwangi ke Pangkalan Bun Kalteng, bisa 2 kali lipatnya dari Banyuwangi ke RRC. Karena ini bahan baku rutin jangka panjang jumlah besar sangat fital.
Di RRC berbahan baku cocopeat bisa sangat murah. Karena di RRC proses produksi modern lalu murah. Produknya lomba jualan di pasar global di banyak negara produk RRC bisa selalu jadi pemenangnya.
Sebaliknya, di Indonesia mau swasembada sapi saja. Ada program wajib breeding sapi bagi semua importir daging dan sapi, ini tidak jalan. Karena intervensi oknum politisi butuh ” cuan besar ” bisa jadi untuk sumber dana taktis parpol.
Ini berdampak pangsa pasarnya berkurang tajam, cuan kecil, jika swasembada sapi. Jika makin banyak impor (tidak swasembada), maka makin dapat ” cuan besar “. Sering kali rebutan kuota impor daging dan sapi hidup. Pertanda apa?
Begitu juga pada kuota impor bawang putih, gula, dan lainnya. Karena produknya sangat ” fast moving “. Marketable. Enak tenan. Sekejap kaya raya. Total laba pemain rente impor minimal Rp 80 triliun/tahun. Mau apa kalau sudah gitu ? EGP.
Pendek kata, hari gini Pak Tani jangan lagi dianggap ” anak kecil ” yang masih teramat polos dan lugu sekali. Diam bukan berarti bisu. Menutup mata bukan berarti tidur. Tidak mau ikut campur bukan berarti tidak bisa.
Semua karena pertimbangan hati nurani dan mental saja. Ribuan tahun sebelum lahir dan setelah mati, lazimnya hidup hanya puluhan tahun saja. Hidup bagai mampir minum di tengah perjalanan nan panjang.
Salam 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630