Sejak 8 tahun terakhir, anggaran APBN ke pedesaan dan pertanian dinaikkan berkali lipatnya dari sebelumnya. Hingga sekitar Rp 125 triliun/tahun. Menandakan politik telah berpihak. Walaupun idealnya sekitar Rp 300 triliun/tahun setara 10% dari APBN.
Alokasi tiap APBD ke pertanian umumnya belum ada 2% dari totalnya. Menandakan Pemda belum perhatian serius ke pedesaan dan pertanian serta pangan khususnya. Padahal idealnya minimal 10% semua APBD se-Indonesia untuk membangun iklim usaha pangan.
Portofolio di atas tentu berdampak risiko bagi pembangunan kedaulatan pangan Indonesia ke depannya. Implikasinya impor pangan dari tahun ke tahun ” sangat wajar ” jika volume dan nilai kapitalnya makin besar. Contoh ; gandum, susu, sapi, kedelai, gula dan lainnya. Makin banyak impornya.
Bahkan Presiden Jokowi saat ini memerintahkan kembali agar impor beras lagi. Agar stok beras di Bulog sesuai standar aman minimal 1,5% dari total kebutuhan nasional 31 juta ton/tahun. Setara harus ada stok 1,6 juta ton di Bulog. Hanya di bawah 500.000 ton beras.
Agar harga terkendali. Inflasi tidak naik lalu berisiko tinggi dampak imbasnya. Itu pun beras di Thailand dan Vietnam sulit didapat. Kondisi ini hanya akibat saja. Sekali lagi hanya akibat dari politik anggaran belum berpihak total sesuai idealnya minimal 10% proporsinya dari APBN dan APBD.
Sudahlah hanya 4% dari APBN dan 2% dari APBD. Program kerjanya masih bernuansa bansos dan subsidi. Bukan solutif kausatik, bukan menyelesaikan masalah dari sebab dasarnya. Masih bersifat simptomatis saja, menghilangkan gejala saja. Bukan kalkulasi logis nuansa kreatif inovatif iklim usahanya.
Misal bantuan sapi, pupuk NPK subsidi dan lainnya. Bantuan sapi, sudah habis puluhan triliun tapi impornya daging dan sapi naik dari 600.000 ekor akan jadi sekitar 1,8 juta ekor tahun 2023. Karena tidak efektif. Subsidi pupuk NPK 8 tahun lebih dari Rp 220 triliun. Tapi impor jadi jutaan ton per tahun.
Implikasi dari politik pertanian yang belum berpihak di antaranya ;
1. Harusnya bisa menanam 3 kali setahun. Hanya bisa sekali karena sulitnya air. Konkretnya luas sawah 7,1 juta ha, hanya tertanam 10,6 juta ha/tahun, produksi beras hanya 31 juta ton/tahun. Jika 3 kali tanam bisa 7,1 ha x 3 = 21 juta ha, produksi beras bisa 60 juta ton/tahun.
2. Harusnya ongkos kirim sarana prasarana misal pupuk dan hasil panen murah cepat sampai. Jadi mahal dan lambat sampai. Harusnya bisa 4 kali 1 truk ke sawah membawa pupuk dan hasil panen. Tapi hanya bisa 2 kali saja. Tentu beda biayanya. Ini dampak jalan sentra produksi jelek.
3. Hilirisasi inovasi belum optimal. Harusnya bisa dapat gabah 9 ton GKP/ha, hanya dapat 5 ton GKP/ha. Akibat belum memakai benih hasil riset terkini, dampak inovasi belum membumi. Implikasinya rerata nasional hanya 5,4 ton GKP/ha, di Vietnam bisa 5,9 ton GKP/ha.
4. Sapi jika anggarannya puluhan triliun bukan hanya klasik rutinitas, tapi untuk impor sapi betina bunting bisa jutaan ekor. Jika hanya Rp 75 triliun saja, maka setara 5 juta ekor sapi indukan. Anaknya akan 4 juta ekor/tahun. Sekitar 3 tahun lagi 2 juta yang jantan saja bisa dipotong tanpa impor lagi. Stunting akibat kurang protein hewani tereduksi.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630