Politik pangan dalam hal ini lazim dimaknai pangan kaitannya dengan kebijakan makro, legalitas, anggaran dalam pembangunan pangan hulu hingga hilir. Termasuk implikasinya kepada budaya pangannya.
Politik pangan Indonesia sejak reformasi belum dapat perhatian serius. Bahkan cenderung abai. Sehingga banyak hal terkait pangan mengalami degradasi sangat serius. Termasuk implikasinya.
Hingga jadi ancaman kemandirian masa depan bangsa Indonesia. ” Karena pangan soal hidup matinya sebuah bangsa. Jika kita tidak bisa swasembada pangan itu karena kita tolol “. Bung Karno.
Bung Karno menyampaikan pesan tersebut, panjang lebar semangat tinggi berapi – api, dengan penuh harapan kepada para generasi penerusnya. Saat peletakkan batu pertama Kampus IPB Bogor, tahun 1952. Faktanya makin memprihatinkan.
Indikasinya ;
Gula, tahun 1930 an. Nusantara dapat predikat penghasil gula terbesar ke 2 di dunia. Tapi saat ini, Indonesia importir gula 5,2 juta ton/tahun. Importir gula terbesar di dunia. Jika dijadikan data statistik, diagonalis negatif.
Implikasinya, menguras devisa Rp 65 triliun/tahun. Jika petani tebu butuh pendapatan Rp 65 juta/tahun maka jumlah impor gula setara penghasilan 1 juta KK petani tebu. Makin menyempitkan lapangan kerja di pedesaan.
Sapi, tahun 1985 kita ekspor sapi besar – besaran jantan dan betina. Tapi saat tahun 2023 jumlah impor daging sapi, daging kerbau dan sapi hidup setara 2,5 juta ekor/tahun. Impor susu 78% dari total kebutuhan nasional.
Implikasinya setara menguras devisa Rp 50 triliun/tahun. Bisa menghidupi 700.000 KK peternak. Belum lagi sapi perahnya. Selain itu berdampak angka stunting 37% tahun 2013 dan 21,6% tahun 2023. Ini masalah serius prioritas kita.
Kopi dan lada, dulu Vietnam belajar ke IPB Bogor dan tempat praktiknya di Bangka dan Lampung. Tapi saat tahun 2023. Produktivitas Vietnam menyalip kita yaitu 3,5 ton/ha/tahun, Indonesia hanya 0,7 ton/ha/tahun. Memang aneh, tapi nyata.
Kelapa tahun 1995 an, kebun kelapa kita terluas di dunia 3,9 juta hektar. Tapi saat ini hanya 2,7 juta hektar. Itupun devisa kita kalah dengan Philipina. Karena kita suka ekspor bahan mentah glondongan dan minim industri hilirnya.
Kebun kelapa kita rusak akibat kita suka diadu domba oleh negara barat dengan kampanye hitam, seperti nasib sawit saat ini. Dengan berbagai isu kesehatan, lingkungan hidup dan lainnya. Sangat merugikan.
Namun demikian kita patut bersyukur juga banyak produk Indonesia jadi pemimpin pasar global. Misal sawit, manggis, nanas, pisang dan lainnya. Ini juga wujud konkret prestasi karena kerja keras kita.
Yang paling memprihatinkan banyak sarjana pertanian yang tidak yakin terhadap masa depan jika jadi praktisi bisnis bidang pangan. Misal petani, peternak, industri pangan dan lainnya. Padahal inilah rohnya pangan Indonesia.
Konkretnya, saya selama ini sangat kesulitan mencari pemilik usaha kilang padi 20 orang saja yang sarjana pertanian dari ribuan kilang padi. Kesulitan juga mencari 20 orang pemilik sawit di atas 500 hektar yang sarjana pertanian dari 16,38 juta hektar.
Tapi kalau di perbankan mulai yang baru diterima hingga jadi direksi ada ribuan orang. Tiap cabang dan tiap bank selalu ada. Ini bahan mawas diri jika mau rendah hati demi kebaikan. Implikasinya banyak petani peternak otodidak, kurang iptek dan inovatif.
Kesimpulan. Hendaknya pemerintah, anggota dewan perwakilan rakyat dan akademisi bisa mawas diri. Kenapa ini semua bisa terjadi. Tentu karena kebijakan politik pangan Indonesia yang belum sesuai harapan.
Iptek inovasi pertanian harus dipraktikkan seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam mantan murid kita. Tidak cukup dihafal teorinya karena bukan ilmu sastra pertanian, lalu ujiannya teorinya juga. Lalu bermental tiada nyali memulai jadi praktisi inovatif.
Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630