
Politik ekonomi pertanian, maknanya sebuah kebijakan pemerintah yang diharapkan mampu menjadi ” anugerah bukan musibah ” bagi komunitas pertanian sebagai produsen pangan, petani rohnya pangan, sehingga stabilitas ketahanan nasional makin ada kepastian aman.
Sensus Pertanian Indonesia diadakan setiap 10 tahun sekali.
Terakhir 2013, hasilnya ;
1. Petani usia di bawah 40 tahun hanya 12% dari total jumlah petani 34 juta KK.
2. Alih profesi petani 5,2 juta KK/10 tahun atau 0,52 juta KK/tahun.
Diidentifikasi, petani yang banyak alih profesi berubah jadi TKI di berbagai negara yang kesulitan tenaga kerja pertanian.
Saat ini 2022, berarti usia Sensus Pertanian sudah berjalan 9 tahun, jika data tahun 2013 tiada perubahan besar maka petani Indonesia yang di bawah usianya 50 tahun. Saat ini hanya 12% dari jumlah petani.
Apa dampaknya ?
Petani tebu, bawang putih, kedelai dan peternak sapi banyak yang meletakkan profesinya jadi TKI di berbagai negara.
Imbasnya, jumlah impor gula, kedelai, sayur dan sapi makin melambung tinggi hingga menguras devisa ratusan triliun/tahun. Pangan makin tergantung dari impor.
Perjalanan panjang data dan fakta di atas, butuh dikaji ulang dan membuat strategi baru dalam Politik Ekonomi Pertanian.
Begitu juga saat ini sedang proses terjadi, petani sawit Indonesia hanya dihargai Rp 1.800/kg TBS di PKS, setara dengan biaya produksi (HPP/BEP) nya. Berarti remis. Tiada laba. Kerja bakti. Bisa jadi sebab petani sawit akan alih profesi lagi.
Beda jauh dengan petani sawit Malaysia dan Thailand Rp 5.100/kg TBS.
Dampaknya dalam luas 2 ha/KK petani, kesejahteraannya. Bedanya antara petani sawit Indonesia dengan Malaysia/Thailand (Rp 5.100 – Rp 1.800)/kg TBS x 2 ton TBS/ha/bulan x 2 ha = Rp 13,2 juta/bulan/2 ha/KK.
Padahal…
” Pangan soal hidup atau matinya sebuah bangsa “
(Bung Karno, IPB, 1952).
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

