Thu. Jun 26th, 2025

Sungguh, kita patut bersyukur. Di tengah dinamisnya ekonomi global saat ini yang disebabkan banyak hal tapi ekonomi Indonesia bisa terkendali dengan baik. Ini bisa jadi portofolio kendali risiko.

Data BPS, Indikasinya Inflasi Indonesia 5,4% tahun 2022, peringkat terendah ke-16 dari 20 negara anggota G20. Peringkat ke-120 dari 161 negara dan peringkat ke-6 dari 10 negara ASEAN.

Padahal inflasi di Argentina 92,4% dan Turki 84,4%. Sebagai bukti bahwa dunia sedang tidak baik – baik saja, Indonesia masih baik saja. Kontributornya harga energi dan pangan yang makin meroket saja.

Jika menyimak paparan Kepala BPS acara di Sentul 2 hari lalu. Bahwa sebab utama inflasi naik kontribusinya dari bensin, bahan bakar rumah tangga, beras, rokok kretek filter dan ongkos angkutan pesawat terbang.

Artinya beras terjadi lonjakan harga. Padahal ini makanan utama. Ada kesan akibat hukum pasar, saat beras kurang pasokan tapi permintaan naik, maka harga naik. Daya beli turun akibat PHK dan lainnya, tapi beras mahal.

Di sinilah terjawab pertanyaan publik selama ini. Kenapa Indonesia baru dapat penghargaan dari FAO dan IRRI (Lembaga Riset Padi Kelas Dunia) karena 3 tahun Indonesia swasembada beras.

Lalu ujug – ujug impor beras di penghujung tahun 2022. Tentu dengan dasar pertimbangan matang. Stok di Bulog hanya 200.000 ton padahal lazimnya 1,5 juta ton atau 2% dari kebutuhan nasional per tahun.

Jika tidak impor beras, lalu beras langka di pasar jadilah harga mahal. Inflasi naik, kemiskinan bertambah. Apalagi sedang banyak korban PHK yang mengurangi daya beli masyarakat luas. Ini hal sangat sulit bagi masyarakat luas.

Sebaliknya, jika beras murah maka gabah juga murah. Petani menjerit karena biaya produksi lagi naik akibat pupuk kimia dan pestisida juga lomba naik harga. Karena Indonesia pupuk kimia utamanya unsur P dan K 90% impor. Begitu juga Za dan Pestisida.

Idealnya harus mengurangi pemakaian bahan kimia impor baik pupuk maupun pestisida. Apalagi kualitas lahan persawahan Indonesia 72% sudah ” sakit “. Indikator utama kadar C organik 1%, tahun 1970 an 2,5% dan lahan subur 4%.

Indikator lainnya, residu logam berat pada pangan Indonesia sudah di ambang batas. Cara ujinya mudah sekali. Jika kita ekspor sayuran ke Singapura ” pasti ditolak “. Karena negara tersebut sudah punya standar maksimum residu logam beratnya.

Konkretnya, bangun SDM inovatif hal pupuk organik, pupuk hayati (Bio Extrim) dan Biopestisida. Paralel membangun iklim usaha misal irigasi agar bisa 3 kali tanam per tahun agar ada laba. Hilirisasi inovasi. Bunga bank rendah lebih massal dan mudah aksesnya.

Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *