Swasembada pangan hal mutlak bagi sebuah negara karena bagian dari ketahanan negara tersebut. Banyak negara kalah telak dalam peperangan, karena tidak swasembada pangan, ketahanan pangannya rendah.
Caranya dihadang jalur logistik sumber pangan impornya. Itulah sebabnya di Pulau Natuna ada hamparan sawah skala luas saya lihat 8 tahun silam, yang dibangun oleh TNI saat perang dengan Malaysia, Ganyang Malaysia.
Ketahanan dan swasembada pangan punya batasan yang sangat beda. Ketahanan pangan meliputi harga terjangkau, serba ada, mudah diakses dan bermutu. Indonesia di bawah Singapura, Malaysia dan Vietnam.
Swasembada pangan memiliki batasan apabila 90% dari total pangan yang dibutuhkan hasil dari budidaya sendiri atau jumlah impor pangan maksimal 10%. Indonesia tidak swasembada pangan, justru makin jauh dari harapan.
Ekspor impor sesungguhnya hal biasa saja. Hanya soal perdagangan antar negara sahabat saja. Seyogyanya surplus, nilai impor di bawah nilai ekspornya. Saat ini kita masih defisit. Bahkan impor beras bisa jadi akan tembus 6 juta ton tahun 2024 ini.
Idealnya, terjadinya impor apabila jumlah produksi di dalam negeri ” tidak ” mencukupi. Lalu barang langka jadi rebutan. Hukum Pasar bermain, jadilah harga pangan naik dan inflasi ikutan naik yang pada akhirnya kemiskinan bisa bertambah.
Indonesia selama ini tiada impor komoditas di bawah ini. Karena berlebih dan sanggup bersaing di pasar global, lalu diekspor. Mangga, salak, manggis, sawit, pisang, nanas, kopi, kelapa dan lainnya. Sebagian jadi pemimpin pasar global.
Jika Indonesia mau swasembada pangan, butuh ” Arsitektur Pembangunan Pertanian ” yang bisa jadi acuan pembangunan berkelanjutan. Mengatasi masalah dengan sebabnya (causatic), bukan hanya gejala keluhan saja (symptomatic).
Perhitungannya ;
1). Beras.
Saat ini impor jumlah minimal 5,5 juta ton, setara dengan hasil panen luas tanam 2 juta hektar. Karena indeks produksi beras 2,56 ton/ha. Kebutuhan petani sejahtera 1 juta KK, jika 2 ha sawah/KK. Ini harus dicetak sawah baru 5 juta hektar. Ekstensifikasi.
2). Gula.
Saat ini impor 5,3 juta ton. Setara dengan hasil panen 800.000 hektar, karena selama ini produksi gula tebu sekitar 7 ton/ha. Butuh petani tebu 400.000 KK, jika 1 KK 2 hektar. Harus membuka lahan baru kebun tebu minimal 1 juta hektar. Ekstensifikasi inovatif.
3). Bawang Putih.
Saat ini impornya sekitar 650.000 ton. Setara hasil panen 110.000 hektar. Kebutuhan petani 55.000 KK jika 2 hektar/KK agar sejahtera. Ini butuh lahan baru pada ketinggian karena butuh agroklimat khusus agar kompetitif.
4). Sapi dan Daging.
Impornya terus meroket hingga setara 2,5 juta ekor/tahun. Ini setara dengan hasil panen dari indukan sapi produktif 6 juta ekor. Solusinya harus impor sapi bunting/produktif. Butuh peternak 1 juta KK, jika 1 KK 6 ekor sapi indukan. Impor daging dan sapi jantan, non solutif causatic.
5). Kedelai.
Impor kita 3,8 juta ton/tahun. Andalan sumber protein murah, tahu dan tempe. Setara hasil panen dari luas tanam 2,1 juta hektar. Karena produktivitas kita hanya 1,8 ton/ha. Solusinya selain menghasilkan benih yang bisa 3 ton/hektar, harus cetak lahan baru gambut kedelai.
Tentu selain 5 komoditas di atas masih sangat banyak lagi. Misal saja yang besar – besaran kita impor gandum 11 juta ton/tahun, cabai untuk bahan baku industri pangan, rimpang group dan lainnya. Kesemuanya tidak cukup hanya dengan kepakaran teknis pertanian semata. Itu tidak cukup.
Solusinya butuh keberpihakan kebijakan politik makro anggaran besar milik negara (APBN). Ingat bahwa apa yang terjadi hari ini adalah buah dari kebijakan masa lalu dan kebijakan hari ini akan berbuah di masa depan. Generasi hebat apabila mampu menyiapkan generasi berikutnya lebih hebat lagi dari dirinya.
Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630