Tahun 1995, orang tuaku transmigrasi swakarsa mandiri dari Banyuwangi ke Sulawesi tapi gagal, lalu saya ajak pindah ke Kandis Riau. Mengganti yang tidak kerasan.
Plasma sawit dapat 2 ha kebun belum buah, 0,5 ha untuk rumah dan pekarangan. Ganti rugi Rp 3,8 juta. Tapi masih menanggung kredit sekitar 5 tahun baru lunas.
Karena mengikuti anak – anaknya agar dapat lahan murah maka pindah ke Pangkalan Bun Kalteng. Tetap sawit sebagai sumber ekonominya. Bersama jutaan KK petani sawit lainnya.
Sekalipun di Malaysia harga sawit Rp 5.200/kg. Tapi di Pangkalan Bun hanya Rp 1.100/kg, di bawah biaya produksi Rp 1.800/kg. Rugi. Petani pekerja keras, harus dihargai. Bukan pemalas tukang antri bansos atau segala macam ide gagasan subsidi. Negeri mandiri kumpulan warga mandiri.
Syukur PKS masih terima sawit petani, petani jual rugi. Karena saat ini ada 70 an PKS tutup mau bangkrut. Tangki CPO penuh, tidak bisa ekspor. Padahal Pak Jokowi sudah buka ekspor 23 Mei 2022, di lapangan nihil. Karena syaratnya Kemendag ruwet.
Terbayang, bukan hanya sawit punya orang tuaku saja. Masih jutaan petani mandiri terkondisi oleh politik dagang, iklim usaha melumpuhkan industri sawit. Kadang malu, malu sekali dengan sahabat di Malaysia. Kabarnya mantan mahasiswa kita yang jadi pejabat pengelola sawit Malaysia.
Entah sampai kapan..
Semoga tidak bernasib seperti cengkeh rontok seketika banyak dibakar seperti sawit saat ini di 22 provinsi. Semoga juga tidak seperti tebu, sapi, kedelai, tembakau, karet dan lainnya jumlah impor makin melambung tinggi. Semoga Tuhan tidak kecewa karena kita kurang bersyukur atas nikmat dari Nya.
Miris lagi.., Beban petani sawit makin meriah saja. Pungutan ekspor oleh BPDPKS, pajak ekspor/bea keluar dan PPN oleh Kemenkeu. Hingga menekan harga CPO jadi Rp 11.000 setara Rp TBS petani Rp 1.500/kg. Padahal CPO pasar global Rp 25.000/kg. Semoga segera hadir hidayah dari Nya untuk yang kucintai para pemimpin negeri ini.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630
