HPP (Harga Pokok Produksi) adalah indeks hasil bagi antara total biaya produksi dengan jumlah produksi. HPP adalah indikator utama daya saing sebuah produk baik skala perorangan, perusahaan maupun negara.
Makin rendah HPP sebuah produk maka makin kompetitif produk tersebut. Apapun produk tersebut. Itulah yang dilakukan RRC selama ini, sehingga produk – produknya mampu jadi ” market leader ” di banyak negara.
HPP Nol terjadi jika mampu meniadakan limbahnya. Nol limbah dengan manajemen ekonomi sirkular. Limbah jadi komoditas bernilai. Melalui hilirisasi invensi hasil riset jadi inovasi membumi.
HPP rendah dan kompetitif terjadi jika iklim usaha sangat berpihak. Misal infrastruktur, kemudahan berusaha, inovasi membumi, bunga bank rendah dan lainnya. Artinya biaya penyerta produksi sangat rendah.
Banyak produk RRC jadi pemimpin pasar, karena HPP sangat rendah. Contoh ongkir cocopeat dari Banyuwangi ke RRC hanya 50% dari Banyuwangi ke Kalteng. Karena di RRC banyak pelabuhan modern dan jalan tol semua.
Sehingga produk turunan cocopeat dan cocofiber serbuk sabut kelapa bisa jual murah. Contoh pembalut wanita, masker dan jok mobil. Begitu juga waktu ekspor ongkirnya murah, termasuk produk lainnya.
Bagaimana pengalaman saya pada usaha ternak sapi ?
Sapi indukan jenis Brahman atau Limosin 400 kg/ekor butuh pakan Gama Umami inovasi UGM 40 kg/hari atau setara 10% dari bobotnya. Biayanya Rp 50/kg Gama Umami. Berarti setara Rp 2.000/ekor/hari. Tenaga kerja Rp 2.000/ekor/hari.
Sapi indukan Brahman atau Limosin 400 kg/ekor. Keluar feses 12 kg/hari. Atau setara Rp 12.000/ekor/hari jika dihargai jadi pupuk Rp 1.000/kg. Setara 3% dari bobotnya. Urine 10 liter/hari setara 2,5% dari bobotnya.
Dari data cashflow di atas bisa dianalisa dan disimpulkan berapa HPP-nya. Ternyata Nol. Bahkan berlebih karena limbah feses urine jadi target produk komoditas bernilai tinggi jadi pupuk organik hayati jika diperkaya biang mikroba Bio Extrim dan Hormax (Empiris).
Petani sangat beruntung jika feses diperkaya Bio Extrim dan Hormax jadi pupuk super duper. Jika hanya dihargai Rp 1.000/kg. Uji mutu akan bagus. Begitu juga uji efektivitas maupun efikasi, cost and benefit analysis-nya.
Selain itu masih dapat anak sapi (pedet) tiap tahun sekali dengan potensi lazim 70% dari total populasi sapi indukannya. Selain bonus di luar laba di atas. Hal tersebut yang selama ini ” tidak diberdayakan ” oleh petani peternak kita.
Ilmu hikmahnya, ternyata benar semboyan banyak perusahaan raksasa yang selalu banyak ditempel di dinding kantornya berbunyi ” Inovasi atau mati “. Artinya dalam bisnis harus inovatif, jika tidak mau inovatif maka usahanya akan mati karena kalah bersaing di pasar.
Salam Inovasi š®š©
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630