” Tidak cukup hanya dihafal, harus dipraktikkan. Itulah sebab banyak orang sukses bertani dengan multi disiplin ilmu, karena mereka mau praktik selalu beda lalu disempurnakan lagi pada praktik berikutnya. ” Itu ujar Mentor saya dulu.
Penting rendah hati, jujur dan mawas diri. Kontradiktifnya di negeri ini. Saat bonus demografi, 70,2% usia produktif 15 s/d 64 tahun. Saat bersamaan petani tua justru di atas 80%. Itulah saat ini. Di negeri ini. Artinya kekurangan praktisi.
Kondisi ini berimplikasi pada banyaknya impor investor (PMA), impor pangan ratusan triliun/tahun, luasnya lahan terlantar jutaan hektar, pendapatan per kapita rendah, daya beli lemah, gini rasio/kesenjangan ekonomi tinggi dan pasar dinikmati praktisi di luar negeri.
Portofolio risiko ini telah berjalan puluhan tahun. Bagai bola salju makin besar. Konkretnya impor makin besar pada gula, sapi, gandum, kedelai, bawang putih dan lainnya. Bahkan yang dulu ekspor, jadi impor makin besar yaitu gula dan sapi. Diagonalis.
Menteri Pertanian Prof Syahrul Yasin Limpo, pada acara Jambore Petani Milenial mengatakan bahwa impor jagung masih tinggi, impor daging sapi kerbau juga, apalagi gandum impor minimal 11 juta ton/tahun. Sebaliknya sagu yang asli Indonesia makin hilang.
Seolah kita tidak pakai otak saja mengelola negara selama ini. Semua berargumen demi pangan murah belaka, tanpa memikirkan kesejahteraan dan keberlanjutan nasib petani. Itu ujarnya, di hadapan para petani muda hebat yang dominan sarjana.
Kajian saya pribadi, ini semua akibat dari ;
1. Pembangunan manusia Indonesia hanya orientasi mencari lapangan kerja. Bukan dididik agar mandiri kreatif inovatif apalagi cipta lapangan kerja. Hampir semua mau jadi ASN atau pekerja. Bahkan lulusan perguruan tinggi makin banyak yang menganggur.
2. Iklim usaha belum berpihak ke pemberdayaan masyarakat. Tidak jarang praktisi dibuat menangis menjerit akibat kebijakan politik tanpa dasar telaah staf data fakta lapangan. Misal sawit dan sapi. Beberapa bulan ini, merugi besar massal.
Alternatif solusinya ;
1. Bangun SDM mandiri secara konkret, bukan narasi teoritis terlalu tinggi melangit. Masyarakat butuh bukti di lapangan sebagai sumber inspirasi. Ironis jika pengangguran makin didominasi dari kaum terdidik. Minimnya praktisi pencipta lapangan kerja, berdampak banyak pengangguran hingga jadi TKI.
2. Bangun iklim usaha yang berpihak kepada masyarakat pejuang kemandirian bangsa. Bukan dimatikan usahanya. Agar kompetitif tidak takut dengan barang impor datang, harga pokok produksi (HPP) harus dibuat rendah melalui inovasi membumi, infrastruktur produksi dan lainnya.
Ingat, Negeri tanpa praktisi gigit jari.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
Hp 081586580630