Mon. Jun 23rd, 2025

Terus bergulir berita bahwa harga beras di Singapura lebih mahal dari Indonesia sekalipun berasnya sama impornya. Begitu juga daging sapi dan kerbau di Malaysia lebih mahal dibanding Indonesia, sekalipun sumber dan waktu impornya sama.

Lebih membuat kening berkerut lagi, hampir semua produk impor lebih murah dibandingkan produk dalam negeri. Bukan hanya pangan saja. Apalagi produk industri. Pendek kata produk kita kalah bersaing di kandang sendiri.

Padahal kalau mau jeli jujur, mau melihat fakta lapangan. Bukan hanya produk kita saja yang kalah di pasar. Lebih parah lagi produk negara maju, yang industrinya sudah usia ratusan tahun pun banyak yang kalah bersaing.

Contoh mobil dan alat berat. Produk Eropa kalah dengan produk RRC. Banyak pangsa pasarnya produk dari Jepang, Amerika dan Jerman habis – habisan direbut oleh RRC. Luar biasa. Runtuhnya anggapan bahwa ” Kejayaan Abadi Eropa ” telah dimulai.

Paling mendominasi sebabnya karena kalah dalam ” lomba murah ” harga di pasar. Selain kualitas, kuantitas, kontinuitas, kecepatan dan ketepatan. Dalam 5K 1H, syarat menang bersaing. Itu semua karena inovasi.

Pas semboyan, ” inovasi atau mati “. Perorangan, perusahaan dan negara jika tidak mau investasi riset dan inovasi sama artinya sedang proses menggali kuburannya sendiri. Hanya soal waktu saja. Tanpa inovasi, tanpa bisa kompetisi lalu mati.

Lalu, kenapa produk kita, utamanya pangan saja di negara khatulistiwa bisa kalah bersaing di negeri sendiri ?

Jika dikaji harganya memang kalah murah. Ini pasti karena harga pokok produksi (HPP) kita masih tinggi. HPP adalah angka indeks hasil bagi antara biaya produksi dengan volume produksi dalam satu proses produksi.

Konkretnya, Si A biaya jeruk Rp 60 juta, produksi 30 ton maka HPP Rp 60 juta : 30 ton = Rp 2.000/kg.

Si B biaya Rp 75 juta, produksi 25 ton, maka HPP Rp 3.000/kg. Data ini menunjukkan betapa nampak Si A, akan menang bersaing.

Artinya secara bersamaan biaya makin murah, tapi produktivitas makin banyak, maka HPP rendah. Itu yang sedang dikejar RRC dan Vietnam saat ini. Biaya murah, hasilnya berlimpah. Agar HPP rendah.

Agar HPP rendah manusianya berjiwa inovatif entrepreneurship. Didukung oleh iklim usaha dan iklim inovasi membumi. Ini yang dilakukan perusahaan konglomerat multinasional kenapa mudah meroket.

Contoh karena iklim usaha, ongkos kirim cocopeat dari Banyuwangi ke RRC kok bisa lebih murah dibanding dari Banyuwangi ke Kalteng. Kirim pupuk 1 kontainer dari Cibubur ke Kalteng dulu Rp 23 juta, sejak ada Jalan Tol Rp 18 juta. Turun, aneh.

Bayangkan jika tiap hari ribuan kontainer berapa banyak dampaknya kolektif terkoreksi. Pasti kalah bersaing dengan cocopeat dari Filipina. Pasti lebih makin terangsang investasi dan kompetitif, ongkos kirim bahan baku antar wilayah makin murah.

Contoh sebab HPP Indonesia karena bunga bank. Di luar negeri kredit hanya Rp 2%/tahun, tabungan kena biaya parkir dana. Di Indonesia kredit 12%/tahun. Kalau tiap ruas usaha dan rente memakai kredit bank 12% kolektifnya banyak.

Jadi beban petani semua. Dari beli bahan baku sarana prasarana pertanian pupuk pestisida oleh supplier pabrik, proses di pabrik, distributor, toko pertanian dan semua ekspedisi kena 12%. Hasil panen dengan truk leasing 12%/tahun. Berapa kolektifnya ?

Iklim riset dan inovasi. Di luar negeri, kenapa sayur terong dan kentang misalnya, bisa menghasilkan 3 kali lipatnya Indonesia dalam luas dan biaya sama ? Juga lebih resisten dari ancaman hama penyakit sehingga hemat pestisida. Ini karena inovasinya membumi. Kita ?

Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *