Wed. Sep 18th, 2024

Akhir – akhir ini, terlebih pada masa tahun politik. Banyak opini tokoh masyarakat tingkat nasional membahas tentang dampak kebijakan publik, makro nasional, yang dilakukan oleh pemerintah. Utamanya hal ekonomi masyarakat, gini rasio kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran hingga jumlah prevalensi stunting.

Banyak fokus mengurai nasib masyarakat pertanian dimarginalkan. Sensus Pertanian, guremisasi kepemilikan sawah di bawah 0,5 ha/KK jadi 16,68 juta KK (2023) naik dari 14,3 juta KK (2013). Ketahanan pangan Indonesia peringkat ke 4 kalah dengan Singapura, Malaysia dan Vietnam. Swasembada pangan, impor beras makin meroket.

Ada juga yang membahas hal mutu pendidikan hafalan target cetak manusia pencari kerja bukan jadi manusia pembelajar supaya jadi solutif terhadap segala macam tantangan. Iklim usaha dianggap tidak berpihak pada putra bangsa. Dianggap kedua hal di atas jadi sebab jumlah pengusaha Indonesia 3,47% saja, kalah dengan Singapura 8,7%, Malaysia 4,7% dan Thailand 4,3%.

Implikasi dari pola didik hafalan bukan karakter kemandirian lalu outputnya banyak pencari kerja saja. Hingga dari total pengangguran terbuka saat ini 7,99 juta orang (BPS) didominasi justru lulusan perguruan tinggi hingga 13,3% (Kemenaker). Ibaratnya, kebanyakan baut, kurang mur. Kebanyakan pencari kerja, dibanding jumlah pencipta lapangan kerja (pengusaha).

Karena pengangguran maka tanpa pendapatan 7,9 juta jiwa. Praktis ” nebeng ” hidup ke yang punya pekerjaan. Pendapatan per kapita dan daya beli juga sangat rendah. Tetap banyak yang miskin dan rentan miskin. Konsekuensi logisnya, tidak mampu beli pangan bermutu. Manifestasinya prevalensi stunting malnutrisi 21,4% (2023, terbanyak di Asean setelah Timor Leste.

Pasti semua tahu dampak ke depan 20 tahun lagi 2045 an, jika saat ini prevalensi stunting 21,4% maka tahun 2045 yang usia 25 tahun ada 200 juta jiwa tapi ada 45 juta jiwa di dalamnya bakalan kerdil, kurang cerdas dan rendah daya saingnya. Ironisnya lagi, simulasi ini jarang dipahami oleh publik. Ini konkret portofolio risiko bangsa Indonesia.

Solusinya ?

  1. Bangunlah SDM Indonesia dengan kesungguhan. Man jadda wajada, siapa yang bersungguh – sungguh maka dialah yang akan menuai hasilnya. Di antaranya pangan bermutu mudah diakses. Kesehatan yang mumpuni humanis. Pendidikan yang nuansa mandiri entrepreneurship inovatif serap pengangguran yang masih tinggi hingga meluber jadi TKI 9 juta (Kemenlu).

Jika tanpa SDM entrepreneur, maka tetap ” suka impor ” pengusaha luar negeri (PMA) agar investasi cipta lapangan kerja. Selain terjadi kapital terbang rutin jangka panjang juga akan membentuk karakter puas sebatas bukan jadi ownernya perusahaan. Bayangkan saja jika jumlah massal, owner perusahaan besar milik orang asing di luar negeri sana, kita hanya mengoperasionalkan perusahaan tersebut di negara kita.

  1. Bangunlah iklim usaha dan iklim hilirisasi industri inovatif. Ini hal penting sekali. Bisa dibayangkan jika ada investor nuansa hilirisisasi inovasi oleh putra bangsa, tapi birokrasinya berbelit – belit penuh keruwetan. Sengaja ” suka cipta kondisi ” kepentingan pribadi. Pasti malas usaha, apalagi investasi hingga ekspansi cipta lapangan kerja lebih banyak lagi agar bisa bayar pajak lebih banyak lagi.

Sebaliknya, jika iklim usaha dan iklim hilirisasi inovasi dapat kemudahan seperti di luar negeri yang maju. Maka pencipta lapangan kerja makin banyak, menyerap pengangguran besar – besaran. Yang dulunya miskin karena menganggur jadi makmur sejahtera. Pangan bermutu bisa leluasa dibeli. Putra putrinya dapat asupan gizi dan pola didik yang semestinya.

Niscaya bangsa Indonesia jauh lebih punya daya saing di antara banyak negara di atas bumi ini. Tapi itu semua tidak cukup hafal narasi teoritis, mutlak ” action on the first time “.

Salam Bersinergi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *